Label

Minggu, 09 Januari 2011

Asal Usul Tuanku Imam Bonjol

Asal Usul Tuanku Imam Bonjol dan Gerakan Paderi atau Perang Paderi (1803-1838), di Minangkabau



Bermula dari kontroversi Buku Tuanku Rao.
Senin, 22/09/2008 11:02 WIB
Tuanku Rao
Pengarang: Mangaradja Onggang Parlindungan
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Juni 2007
Ukuran: 691 halaman


Sinopsis:
Buku ini melihat Gerakan Paderi dengan sudut pandang etnis Batak. Berbeda dengan umumnya sejarah Paderi yang menggunakan sudut pandang etnis Minang. Gerakan Paderi (1803-1837) selaku cabang Gerakan Wahabi di Arab, merupakan gerakan radikalisme Hambali Zealots, begitu keyakinan Mangaradja Onggang Parlindungan.

Gerakan perang Paderi dilatarbelakangi perintah langsung Abdullah Ibn Saud Raja Arab Saudi kepada tiga tawanan perang bersuku bangsa Minangkabau Kolonel Haji Piobang, Mayor Haji Sumanik dan Haji Miskin. Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekkah dari tangan Turki, 1802. Para pecundang tidak dihukum mati boleh lepas bebas. Kompensasinya, mereka harus membuka cabang Gerakan Wahabi sesampai di kampung halaman.
Pembentukan pasukan Wahabi Minangkabau dipercayakan pada Kolonel Haji Piobang. Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja Abdullah Ibn Saud, cikal bakal pasukan Paderi. Kelak jadi army group Tuanku Rao yang melakukan ekspansi di tanah Batak.

Dengan meriam, pasukan Paderi mampu menembus dan mengobrak abrik isolasi alam Tapanuli yang terlindung pegunungan Bukit Barisan dan lembah Danau Toba. Di bawah pimpinan Pongkinangolngolan pasukan Paderi memancung kepala Singamangaradja X dalam penyerbuan ke Bakkara, ibukota Dinasti Singamangaradja tahun 1819.

Pongkinangolngolan merupakan anak hasil perkawinan sumbang (incest) Putri Gana Sinambela dengan pamannya Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana Sinambela sendiri kakak dari Singamangaradja X. Pongkinangilngolan seperti dituturkan Onggan Parlindungan dibuang karena dianggap anak haram jadah dan sumber aib keluarga.

Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau dan bekerja pada Datuk Bandaharao Ganggo. Pada waktu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik tiga tokoh pembaharuan abad ke-19 baru kembali dari Mekah, mereka mempersiapkan tentara untuk ekspansi gerakan Mashab Hambali ke Mandailing mendapat dukungan Tuanku Nan Renceh karib Datu Bandaharao. Renceh terkesima dengan mengetahui nasib dan silsilah Pongkinangolngloan. Pongkinangolngolan rupanya sangat baik digunakan dalam rangka merebut dan menduduki tanah Batak. Oleh Tuanku Nan Renceh, Pongkinangolngolan diberi nama Panglima Umar bin Khatab. Sebagai perwira Paderi, Pongkinangolngolan diangkat dengan gelar Tuanku Rao. (musfi)

http://www.padang-today.com/index.php?today=library&j=2&id=47

Sanak, kesalahan terbesar dari buku ini adalah penulis tidak mengetahui sejarah Batak dengan benar. Pongki Nangolngolan sebenarnya adalah menantu dari Tuanku Rao.

Wassalam,
-datuk endang


Syafruddin AL dari Bogor :
Beberapa waktu lampau ambo pernah meminta info di milis ko tentang; Apakah benar ayah Tuanku Imam Bonjol berasal dari Pagaruyung? Alhamdulillah sampai babarapo lamo indak ado nan manjawek. Kalau pun ada Pak Antonius Syam, seorang penulis dan anak Bapak Datuak Lubuk Sati nan manjalehkan, tetapi jawabannya juga kurang tageh. Ia cuma bilang bahwa waktu terjadi suatu kerusuhan di Pagaruyung, ada seorang perempuan keluarga raja yang lari bersama putranya bernama Nurudin ke 50 Kota. Nurudin ini kemudian dikenal dengan Buya Nudin yang menikah dengan hamatun dan melahirkan anak bernama Peto Syarif alias Tuanku Imam Bonjol.

Ambo lah cubo pulo tanyo suok kida, termasuk dengan Pak Djufri Dt. Lubuk Sati sendiri (seorang penulis sejarah Minang) tentang siapa ayah Buya Nudin itu? Beliau mengaku belum menemukan ranjiinya. Apakah benar dia anak Muningsyah II atau baradiak kakak jo Sultan Babagarsyah, belum dapat disimpulkan.

Antonius (anak Pak Datuak Lubuak Sati) tidak menyebutkan siapa ayah Buya Nudin. Cuma dia pernah menyebutkan dalam sebuah "bukunya" tentang Syech Abdul Wahab bahwa Buya Nudin ini hilang begitu saja dari Minangkabau. Diperkirakan oleh Antonius, beliau menghilang di Selayo, Solok (benar atau tidak, ambo indak tahu). Info lain menyebutkan Buya Nudin ini menghilang sekitar tahun 1777.

Beberapa bulan lewek ambo juga pergi ke Sanrabone, Sulawesi Selatan untuk melihat pekuburan urang Minangkabau di daerah ini. Kami diantar langsung oleh Bupati Takalar ke sebuah kuburan dengan nama "Datuk Mahkota Minangkabau" dengan tahun 1589. Datuk Mahkota inilah yang dikisahkan sebagai ulama yang meng-Islamkan raja Goa. Tak jauh dari kuburan Datuk Mahkota, juga terdapat kuburan anak Datuk Mahkota bernama Nurudin. Nurudin inilah yang melanjutkan mengajarkan Islam di Sanrabone dan Goa.

Ambo hanya bisa mencocokkan angka tahun. Maksudnya begini: Kalau buya Nudin menghilang di Minangkabau atau yang jadi ayah Imam Bonjol, tentu dia lahir dan ada di Minangkabau sekitar tahun 1700-an, karena Imam Bonjol dewasa berperang di Minang pada tahun 1800-an. Sedang Nurudin yang di Sanrabone itu adalah anak Datuk Mahkota yang tercatat di makamnya tahun 1589 (keturunannya sekarang mengaku sebagai generasi ke 10 dan 11).

Kalaulah Buya Nudin yang hilang di Minangkabau sekitara akhir 1700-an, mestinya Nurudin yang ada di Sanrabone (kalau memang pelarian dari Minangkabau) tentu mereka mestinya ada di sana sekitar akhir tahun 1700-an pula, bukan tahun 1589 atau awal 1600-an.

Dalam fakta semetara yang ada sekarang, Nurudin yang merupakan anak Datuk Mahkota yang berkubur di Sanrabone hidup antara 1589 - 1600-an, berjarak 100 tahun lebih dulu dari Buya Nudin yang lahir di Minangkabau.

Menurut ambo, keduanya (Nudurudin di Sanrabone dengan ayahnya Datuk Mahkota) dan Buya Nudin di Minangkabau yang disebut-sebut punya talidarah ke Pagaruyung, adalah dua fakta sejarah yang memang perlu ditelusuri oleh ahlinya untuk mencari kebenaran, bukan untuk mengaburkan kebenaran.

Terima kasih, mohon maaf kalau ada yang kurang sreg dengan penjelasan ambo ko. Ini demi fakta sejarah masa lalu kita.

Wassalam

Syafruddin AL
45 tahun, tingga di Bogor


Arman Bahar menyebutkan :

Sewaktu Sutan Muning Syah II mangkat 1798, putra mahkota Rajo Alam Sutan Bagagar Syah masih berumur 9 tahun sehingga sang putra mahkota diperwalikan oleh paman beliau yang bergelar Muning Syah III hingga tahun 1803

Ketika itu Rajo Muning Syah III sedang menghadiri 40 hari wafatnya salah seorang kerabat raja di Koto Tangah Tanjuang Barulak, terjadi perselisihan kecil antara sesama kerabat dimana salah seorang diantaranya mengatakan bahwa acara ma-ampek puluah hari tersebut adalah tidak sesuai dengan Syariat tidak ada contohnya dari Rasulullah, perbedaan pendapat ini semakin memanas dan berkembang menjadi konflik pisik antara para dubalang dengan murid2 Tuanku Lintau dan selanjut dalam hitungan menit dengan cepat berkembang menjadi prahara yang ber-darah2 dan terbakarnya Istana Pagaruyuang

Putra Mahkota Yamtuan Sutan Bagagar Syah yang masih sangat belia itu bersama saudara perempuan-nya Yamtuan Puti Reno Haluih dan suaminya Yamtuan Sutan Sumbayang III yang menjabat sebagai Rajo Ibadat yang bermarkas di Sumpur Kudus di-ungsikan dimalam pekat itu ke Rantau Singingi (sekarang Kabupaten Kuantan Singingi Riau)

Sampai sekarang masih ada Istana Puti Tuanku Gadih di Kuantan Singingi bahkan sang Puti berkenan menurunkan ilmu silat kepada kaum hawa dilingkung istana yang sekarang kita kenal sebagai Silek Pangian

(Kalau berkenan silahkan ralat bahwa pengungsian tersebut bukan ke luhak 50 Koto)

Tuanku Imam Bonjol dilahir 1772 dan diberi nama Muhammad Shahab dari ibu yang bernama Hamatun yang orang Arab Hadramaut Yaman Selatan

Hamatun bersama saudara laki2nya As Sayid Usman sampai kedaerah Bonjol dalam rangka berda'wah dan berniaga

Karena Hamatun menikah dengan salah seorang kemenakan Datuak Tumangguang (suku Koto) maka oleh sang datuak sepasang suami istri yang baru menikah ini di-hibahkan sebidang tanah yang sekarang disebut Kampuang Koto di Bonjol, sedangkan Sayid Usman saudara Hamatun ditanah itu juga mendirikan surau / pesantren

Suami Hamatun (ayah Imam Bonjol) mendapat pendalaman agama Islam baik dari istri beliau sendiri maupun dari saudara istrinya Sayid Usman, adakah hubungan ayah Imam Bonjol dengan Istana Pagaruyuang dan siapakah namanya masih sedang di-sigi2

Yang jelas ketika Muhammad Shahab mengakhiri masa lajangnya dan dia harus diberi gelar, ketek banamo gadang bagala, ketek banamo Muhammad Shahab dek mamak urang Arab dan indak pulo berhak mewariskan gala mako dilakek-kan gala agamo "Tuanku Mudo Petho Syarif" yang kemudian sewaktu perang Padri digelarkan Tuanku nan di Bonjo

Tuanku Lareh nagari Bonjo nan banamo Na'ali Sutan Caniago menulis dalam bahasa Minangkabau beraksara Arab dalam catatan-nya disebutkan bahwa Tuanku Imam Bonjol wafat dan dikuburkan di Kampuang koto tanah kelahiran-nya sendiri, kitab naskah ini sekarang disimpan oleh Haji Qoharuddin dirumah kaum Caniago di Bonjol, foto kopinya pernah diserahkan oleh salah seorang kerabat Caniago yang bernama Zainul Anwar Jakarta kepada Dr. Priyono pakar sejarah yang juga pernah jadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1966-1975

Tuh,…kan, bingung mana yang benar versi Belanda yang mengatakan Imam Bonjol terakhir dibuang ke Palopo Manado dan wafat disana atau versi Tuanku Lareh

Wallahualam bissawab
Abp57

Sanak ABP yth.
Dari info sanak ado babarapo informasi baru nan dapek ditelusuri lebih lanjut, memang versinyo sangat berbeda. Memang disabuikkan TIB memiliki duo urang istri, nan di kampuang Bonjol itu basuku Chaniago. Kudian ukatu kejatuhan Bonjol, beliau mengungsi ka rimbo gadang yang kini manjadi ulayat suku Jambak.
Namun sabananyo ambo agak kurang sumangek menelaah masalah geneologis iko, karono dapek mengaburkan makna perjuangan Paderi itu sendiri.

Wassalam,
-datuk endang

Pak Arman,
Jadi, ini kitab yg lain daripada Naskah Tuanku Imam Bonjol yang raib itu?
Agak bingung saya.

Salam,
Suryadi


2008/11/4, arman bahar :
Assalamualaikum ww

Itulah yang juga banyak bikin kita binggung, terkadang tidak semua sumber Ulando benar apalagi kadang sarat dengan berbagai kepentingan entah itu kepentingan kolonial entah pula membonceng di situ kepentingan para zending protestan atau memang kacamata mereka berbeda yang memandang pribumi Melayu sebagai pembrontak sementara tulisan lain dari sudut perjuangan rakyat tertindas melawan penjajah

Sabana no TIB di samping memiliki perpustakaan lengkap yang didapat dari paman2nya (garis ibu) yang bolak balik ke jazera Arab beliau juga banyak menulis terutama tentang Tafsir, Hadist, Tasauf, Fekah, Nahu, Syaraf, Ma'ani dan Mantiq namun ketika Jihad Paderi semakin bergejolak kesempatan menulis menjadi sangat berkurang kecuali sedikit berupa catatan2 lepas tentang keseharian dan perjuangan beliau, catatan2 lepas inilah sebenarnya yang penting karena belum sempat disatukan posisi beliau dan pengikut2nya semakin terdesak sehingga naskah2 yang sebagian disimpan pembantu2nya hingga kini masih sulit dilacak

Semua kitab2 tersebut dan tulisan2 tangan TIB yang lebih lengkap masih disimpan oleh ahli waris beliau salah seorang di antaranya bernama Ahmad Marzuki di Pematang Siantar

wasalam
abp57


Singgalang, Senin, 20 Oktober 2008

Padang,
Leluhur Tuanku Imam Bonjol dari jalur nasab berhasil ditelusuri dengan menggunakan metode ranji ABS SBK dan dukungan Arsip Nasional.

Ayah pahlawan besar ini, Khatib Bayunuddin ternyata seorang bangsawan Kerajaan
Pagaruyung. Namun akibat konflik, ia bersama 40 orang pengiringnya, mengundurkan diri ke luar Minangkabau dan akhirnya mendarat di Sulawesi Selatan. Demikian antara lain catatan yang dapat ditarik dari diskusi pendalaman lebih lanjut dari latar belakang doktrin Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK) sebagai jati diri Minangkabau, di
Bagindo Aziz Chan, Padang, Sabtu (18/8).

Acara dilaksanakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Padang bekerjasama dengan Gebu Minang. Dalam acara pembukaan, selain Ketua Gebu Minang, Mayjen (Purn) Asril H. Tanjung S.Ip., juga memberikan sambutan tertulis Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi.

Dalam pertemuan ini dibedah dua buah buku, yaitu buku Christine Dobbin, edisi 2008, "Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1847, Komunitas Bambu, Jakarta, serta buku Drs. Sjafnir Aboe Nain, 2008, "Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau (1784-1832), Penerbit Esa, Padang.

Panelis terdiri dari Dr. Gusti Asnan, Dr. Erwiza Erman, MA., Drs. Sjafnir Aboe Nain, serta Drs. Zulqoyyim. Seluruh panelis menghargai pendekatan komprehensif yang digunakan Christine Dobbin, yang didukung data yang amat kaya, sehingga sangat bermanfaat dalam upaya memahami sejarah Minangkabau.

Dalam diskusi inilah kemudian diketahui, keturunan Tuanku Imam Bonjol dari jalur nasab, yang menghasilkan dua temuan, yaitu bahwa ayah Tuanku Imam Bonjol, Khatib Bayanuddin, ternyata adalah seorang bangsawan kerajaan Pagaruyung.

Peserta secara khusus memberikan perhatian pada penegasan Dobbin, Perang Paderi bukanlah merupakan perang antara kaum adat dengan para ulama, sebab pada kedua belah pihak terdapat baik kaum adat maupun para ulama.

Dari data yang ada dapat diambil kesimpulan substansi doktrin ABS SBK berasal dari Tuanku Imam Bonjol, setelah ia menyadari dan mendapat laporan dari empat orang utusan yang dikirim ke Tanah Suci bahwa kekerasan yang dilakukan kaum Paderi sebelum itu adalah merupakan suatu kesalahan dan harus diperbaiki.

Untuk mendalami keseluruhan aspek dari Gerakan Paderi ini, serta untuk menindaklanjuti doktrin ABS SBK, telah dibentuk dan diresmikan sebuah 'Lembaga Kajian Gerakan Paderi, 1803-1838'

Dalam acara ini juga telah diperkenalkan Ranji ABS SBK dengan mempergunakan software Family Tree Maker yang telah dibahas amat intensif di kalangan para perantau yang aktif di RantauNet, yang menggabungkan ranji adat berdasar sistem kekerabatan matrilineal dengan ranji berdasar ajaran nasab yang diajarkan agama Islam. Diketahui pula rombongan ayah Tuanku Imam Bonjol di Sulawesi Selatan kemudian beranak pinak. Orang Bugis mencatat dengan cermat peristiwa tersebut, dan menyampaikan keinginan agar tali darah antara orang Bugis dengan kerajaan Pagaruyung ini disegarkan kembali.

Keinginan tersebut ditampung dalam susunan kepengurusan Lembaga Kajian Gerakan Paderi 1803-838. Salah seorang cucu Tuanku Imam Bonjol, Hari Ichlas, seorang pengusaha, telah memperoleh kepastian hukum tentang hubungan darahnya menurut garis nasab dengan Tuanku Imam Bonjol, yang selain dikukuhkan dengan sebuah akta notaris juga didaftarkan pada pengadilan negeri dan pengadilan agama.

Sekadar catatan, terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara kesimpulan acara bedah buku Dobbin yang sama di Unimed Medan pada tanggal 14 Oktober 2008, yang pada umumnya mereduksi masalah Perang Paderi ini pada masalah ekonomi dan logistik belaka, dan cenderung menyebut Perang Paderi sebagai 'perang dagang' dan secara kategoris menyatakan bahwa Perang Paderi bukan 'perang agama'.

Kesimpulan dari acara bedah buku di Padang ini sangat berbeda, dengan memberikan perhatian pada keseluruhan aspek yang terkait dengan gerakan Paderi , baik aspek politik, ekonomi, sosial budaya, agama, dan militer, yang juga mengandung aspek-aspek baik yang dapat ditindaklanjuti melalui pengkajian yang lebih mendalam serta secara terus menerus.

Menurut Gusti Asnam "Buku karya Christin Dobbin ini menjadi ikon kajian tentang Islam di Minangkabau karena merupakan sebuah hasil studi yang mengkombinasikan sejarah ekonomi, sosial, politik, perang, dan agama, yang sangat relevan" kata Gusti.

Pada acara yang digelar di Gedung Bagindo Aziz Chan sejak pukul 09.00 WIB tersebut turut dilantik pengurus Lembaga Kajian Gerakan Paderi dan pembacaan hasil rumusan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Ketua Dewan Penasehat GEBU Minang dan Penggagas Lembaga Kajian Gerakan Paderi, Saafroedin Bahar, mengatakan Perang Paderi selama ini hanya identik dengan kekejaman. Padahal, menurutnya tanpa Perang Paderi mungkin saja saat ini masih banyak orang Minang yang melakukan tindakan menyimpang seperti sabung ayam.

Lembaga Kajian Gerakan Paderi adalah sebuah organisasi yang digagas salah satunya untuk menjernihkan pemahaman terhadap keseluruhan Gerakan Paderi, termasuk untuk mencegah timbulnya prasangka yang akan merugikan persatuan dan kesatuan bangsa.cr08

http://www.hariansinggalang.co.id/index.php?option=com_content&task=view
&id=3785&Itemid=1:testset

Asal Usul Tuanku Imam Bonjol
Sewaktu Sutan Muning Syah II mangkat 1798, putra mahkota Rajo Alam Sutan Bagagar Syah masih berumur 9 tahun sehingga sang putra mahkota diperwalikan oleh paman beliau yang bergelar Muning Syah III hingga tahun 1803

Ketika itu Rajo Muning Syah III sedang menghadiri 40 hari wafatnya salah seorang kerabat raja di Koto Tangah Tanjuang Barulak, terjadi perselisihan kecil antara sesama kerabat dimana salah seorang diantaranya mengatakan bahwa acara ma-ampek puluah hari tersebut adalah tidak sesuai dengan Syariat tidak ada contohnya dari Rasulullah, perbedaan pendapat ini semakin memanas dan berkembang menjadi konflik pisik antara para dubalang dengan murid2 Tuanku Lintau dan selanjut dalam hitungan menit dengan cepat berkembang menjadi prahara yang ber-darah2 dan terbakarnya Istana Pagaruyuang

Putra Mahkota Yamtuan Sutan Bagagar Syah yang masih sangat belia itu bersama saudara perempuan-nya Yamtuan Puti Reno Haluih dan suaminya Yamtuan Sutan Sumbayang III yang menjabat sebagai Rajo Ibadat yang bermarkas di Sumpur Kudus di-ungsikan dimalam pekat itu ke Rantau Singingi (sekarang Kabupaten Kuantan Singingi Riau)

Sampai sekarang masih ada Istana Puti Tuanku Gadih di Kuantan Singingi bahkan sang Puti berkenan menurunkan ilmu silat kepada kaum hawa dilingkung istana yang sekarang kita kenal sebagai Silek Pangian

(Kalau berkenan silahkan ralat bahwa pengungsian tersebut bukan ke luhak 50 Koto)

Tuanku Imam Bonjol dilahir 1772 dan diberi nama Muhammad Shahab dari ibu yang bernama Hamatun yang orang Arab Hadramaut Yaman Selatan

Hamatun bersama saudara laki2nya As Sayid Usman sampai kedaerah Bonjol dalam rangka berda'wah dan berniaga

Karena Hamatun menikah dengan salah seorang kemenakan Datuak Tumangguang (suku Koto) maka oleh sang datuak sepasang suami istri yang baru menikah ini di-hibahkan sebidang tanah yang sekarang disebut Kampuang Koto di Bonjol, sedangkan Sayid Usman saudara Hamatun ditanah itu juga mendirikan surau / pesantren

Suami Hamatun (ayah Imam Bonjol) mendapat pendalaman agama Islam baik dari istri beliau sendiri maupun dari saudara istrinya Sayid Usman, adakah hubungan ayah Imam Bonjol dengan Istana Pagaruyuang dan siapakah namanya masih sedang di-sigi2

Yang jelas ketika Muhammad Shahab mengakhiri masa lajangnya dan dia harus diberi gelar, ketek banamo gadang bagala, ketek banamo Muhammad Shahab dek mamak urang Arab dan indak pulo berhak mewariskan gala mako dilakek-kan gala agamo "Tuanku Mudo Petho Syarif" yang kemudian sewaktu perang Padri digelarkan Tuanku nan di Bonjo

Tuanku Lareh nagari Bonjo nan banamo Na'ali Sutan Caniago menulis dalam bahasa Minangkabau beraksara Arab dalam catatan-nya disebutkan bahwa Tuanku Imam Bonjol wafat dan dikuburkan di Kampuang koto tanah kelahiran-nya sendiri, kitab naskah ini sekarang disimpan oleh Haji Qoharuddin dirumah kaum Caniago di Bonjol, foto kopinya pernah diserahkan oleh salah seorang kerabat Caniago yang bernama Zainul Anwar Jakarta kepada Dr. Priyono pakar sejarah yang juga pernah jadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1966-1975

Tuh,…kan, bingung mana yang benar versi Belanda yang mengatakan Imam Bonjol terakhir dibuang ke Palopo Manado dan wafat disana atau versi Tuanku Lareh

Wallahualam bissawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar