Label

Selasa, 15 Maret 2011

Aliran Sesat di Serambi Mekah


MUSIBAH kali ini bukanlah musibah air bah seperti tsunami tahun 2004 yang lalu, tapi musibah kali ini adalah musibah umat muslim Aceh yang kembali digoncangkan oleh aliran sesat di tanah Serambi Mekkah dengan pendangkalan akidah yang lazim kita jumpai.

Berita yang begitu anyar di media akhirnya terungkap juga, kali ini Banda Aceh yang menjadi sasaran empuknya pada dedengkot yang menjadi da’i untuk mencari pengikutnya itu.

Tepat awal Maret lalu, Pemerintah Kota Banda Aceh telah mensinyalir kehadiran komunitas/kelompok/organisasi yang bertentangan dengan syariat Islam tersebut, namun saat itu belum diketahui secara pasti apa nama dari komunitas atau aliran tersebut.

Tidak lama berselang beberapa hari, berbagai informasi tentang keberadaan aliran memang cukup santer, terutama di jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.

Salah satu dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah, sempat menanyakan kepada saya tentang keberadaan aliran tersebut via Twitter, saya pun agak bingung mencari tahu keberadaan mereka. Namun, saya pun melihat-melihat aliran apa saja yang sempat “mangkal” di Aceh beberapa tahun belakangan ini lewat berita-berita di internet, lalu yang ada hanya ada aliran Millah Abraham (MA) yang sempat berada di daerah Peusangan, Kabupaten Bireuen.

Setelah menelusuri lebih lanjut, MA ini pun sudah berhasil dibubarkan oleh masyarakat dan perangkat desa serta kepolisian setempat dengan tertib. Kejadian ini pun melanda di Bireuen sudah beberapa bulan yang lalu, tepatnya sekitar bulan Oktober 2010.

Lalu menyangkut dengan kota Banda Aceh, saya tidak berani menyimpulkan bahwa MA telah ada di Banda Aceh. Karena mereka lazim bersosialisasi dalam bentuk komunitas bahkan lewat jejaring sosial yang banyak digandrungi anak muda/i sekarang, selain itu tempat-tempat publik, seperti warung kopi atau cafe yang banyak di Banda Aceh juga jadi sasaran prioritas.

Setelah melihat dan membaca berbagai berita yang dilansir oleh media nasional, akhirnya terbongkar sudah bahwa aliran ini hanya mengerjakan shalat satu waktu, begitulah informasi yang masuk ke Pemkot Banda Aceh. Tidak hanya itu, mereka yang mengaku alirannya ini benar menurut konteks mereka, melakukan ritual penyucian mesjid yang dimasuki oleh orang yang bukan bagian dari pengikut mereka. Bahkan, kabar burung di Twitter (kicau burung) sempat ada pembaptisan untuk anggota baru. Wallahu’alam

Syukurnya untuk masalah pendangkalan akidah di Banda Aceh ini telah mendapat dukungan dari berbagi kalangan selain Pemkot dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), juga hadir dari kelompok mahasiswa serta DPR Aceh yang membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menelusuri keberadaan aliran ini lebih lanjut. (Waspada, 8 Maret 2011)

Setelah pembentukan Pansus oleh DPR Aceh, akhirnya terbongkar sudah praktik pendangkalan akidah tersebut yang dilaporkan oleh berbagai sumber yang masuk ke Pemkot dan MPU ini bernama aliran Mukmin Mubaligh (MM). Sempat juga disinyalir pimpinan MA tersebut bernama Zainuddin yang sudah merekrut ratusan siswa/i SMA serta mahasiswa di sejumlah fakultas di kampus Unsyiah.

Ciri-ciri Aliran Mukmin Mubaligh
Dari berbagai sumber yang saya dapat, beberapa keanehan bisa ditemukan dengan pengikut aliran ini. Salah satunya mereka (pengikut MA, red) yang masih mempunyai orang tua akan berlaku tidak wajar saat disuruh beribadah di rumah, dalam hal ini shalat dan lebih banyak memilih bungkam untuk berbicara.

Jangan heran jika penampilan yang menonjol dari da’i (istilah untuk mereka yang merekrut korban) tidak seperti orang-orang da’i lainnya, mereka tidak bersarung seperti santri, apalagi berkain sarung atau sorban seperti tengku-tengku pengajian apalagi berjenggot lebat seperti pada da’i umumnya.

Mereka berpakaian rapi, berpenampilan necis (mungkin lebih sering disebut gaul), memang layaknya anak muda jaman sekarang, baju kaos atau bercelana jeans dengan setelan lengkap. Ini dilakukan semata-mata agar mereka bisa masuk ke tempat-tempat publik, baik dikalangan mahasiswa atau tempat umum lainnya.

Para da’i dari MM ini memang begitu fasih membaca Al-Qur’an, lalu melakukan penafsiran ayat-ayat secara nyeleneh. MM juga melakukan shalat sehari sekali, dan dilakukan pada malam hari tanpa harus wudhu terlebih dahulu. Urusan puasa Ramadhan bagi mereka juga tidak wajib, dan hanya berpuasa sesuai dengan mood saja (tidak perlu menahan lapar dan haus).

Salah satu kasus aliran MM ini pernah terjadi di Desa Modo, Lamongan, Surabaya, dan Trenggalek pada Desember 2006 yang silam. Salah satu da’i mereka yakni Rusdianto, pemuda yang berusia 27 tahun yang sanggup menghimpun 150 pengikut dengan “kecerdikannya”. Padahal untuk berdakwah sendiri, Rusdi tidak punya tempat khusus atau tetap, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Mengapa sasarannya muda/i? siapa yang tidak kepincut dengan iming-iming shalat lima waktu menjadi satu waktu dan bahkan untuk urusan berpuasa bisa seenak hati.

Hasil pengakuan Rusdi setelah dibekuk polisi Lamongan, kader-kader yang direkrutnya berumur dari 15 – 25 tahun. Alasannya mudah didekati dengan iming-iming kewajiban shalat yang bisa satu waktu tadi. (Waspada Aliran Sesat, selamatkanbangsa.blogspot.com)

Pencegahan Untuk Muda/i
Jika “musibah” seperti ini sudah mulai menampakkan belang, bukan tidak mungkin tanpa kewaspadaan yang hati-hati pada masing-masing diri bisa menjadi korban berikutnya. Untuk pencegahan sendiri memang tidak mungkin mengandalkan orang lain, yang paling utama adalah orang dekat, orang tua atau keluarga misalnya yang menjadi acuan utama mengawasi setiap gerak-gerik anaknya.

Bagaimana dengan siswa/mahasiswa pendatang ke Banda Aceh? tentu ini hal yang lumayan rumit. Apalagi jika mereka adalah penghuni kost-kostan, tentu disini peran lingkungan yang sehat, masyarakat dan rekan-rekannya.

Namun, ada beberapa poin penting untuk mencegah aliran ini bisa tembus ke setiap muda/i, yakni pendekatan agama ke tempat-tempat pengajian secara rutin, balai-balai/dayah, dan tempat lainnya yang memang bisa dipercaya. Karena saya yakin, sebesar itu Banda Aceh dan Aceh Besar masih begitu banyak tempat-tempat untuk mencari ilmu agama yang masih bersih dan berada dalam koridor Syariat Islam.

Kurangi untuk keluar malam-malam yang tidak perlu, hindari kesendirian ditempat publik, perbanyaklah berzikir, ingat Allah, kurangi bentuk hura-hura yang tidak bermanfaat. Datangilah tempat-tempat pengajian seminggu sekali minimal, jika melihat ketidaksesuaian gerak-gerik teman atau kerabat segera beritahu orang yang dipercayai, semisal orang tua, tengku-tengku, ustadz.

Apalagi untuk mereka siswa/i yang masih ABG, dengan kondisi yang sering labil atau ababil istilahnya , jangan terperangkap dengan ajakan-ajakan yang tidak sebagaimana mestinya atau tidak biasanya, apalagi harus ke suatu tempat yang asing. Baik setelah pulang sekolah atau saat ada les di luar rumah.

Karena kita tahu, aliran MM ini memang mencari korban umur-umur muda. Jadi, tidak menutup kemungkin semuanya bisa terperangkat jejak-jejak mereka.

Sekian dulu postingan kali ini, kalau orang Aceh bilang, “nyoe haba peuingat, kon cuma peuingat gob, tapi nyang pasti dilee peuingat droe keu droe, menyoe get neucok, nyang salah neu peubeutoi, leubeh kureueng bak Po Tallah lon lake Ampon”. Wallahu’alam bishawab.

Cut Nyak Dhien: Super Women dari Serambi Mekkah

Add caption

JAM sudah menunjukkan pukul 10 pagi, keadaan cuaca di hari kamis (15/7) itu pun sangat cerah. Saya bersama seorang teman yang kebetulan sedang berada di Jakarta ingin sekali melakukan perjalananan ziarahnya ke makam pahlawan wanita Aceh Cut Nyak Dhien.

Sumedang, itulah kota kecil di Jawa Barat yang merupakan tempat dimana Cut Nyak Dhien melabuhkan pengistirahatan terakhirnya pada tanggal 6 Nopember 1908.

Hari itu pula saya beserta rekan seperjuangan saat waktu SMA dulu melakukan perjalanan menuju ke Sumedang.

Dari Depok ke Sumedang membutuhkan waktu setengah hari, walaupun terbilang masih awam dengan lokasi yang akan dikunjungi karena tidak ada peta atau guide yang bisa mendampingi perjalanan kami, akhirnya bisa tercapai juga dengan modal nekat plus bertanya-tanya agar tidak sesat di jalan.

Sambung menyambung dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain, Leuwipanjang, lalu ke Cicaheum dan terakhir berlabuh di perempatan kota kecil Sumedang (tarahu-tarahu kang). Memang sungguh melelahkan, tapi dibalik itu semua rindu hati untuk berziarah ke makam sang pahlawan terobati sudah.

***

Kaki pun melangkah dari jalan yang sempit di tengah kota kecil Sumedang, terlihat disebuah papan yang lusuh tertuliskan “Makam Cut Nyak Dhien 100 meter”, lalu kami pun tambah bertanya lagi mengikuti arah jalan tersebut.

Saut-sautan azan magrib di kota yang terkenal dengan makanan cemilan tahu ini ternyata menyambut kedatangan kami berdua.

Tanpa berlama-lama, langkah kaki pun kami percepat. Karena suara azan yang terdengar makin dekat searah kami berjalan. Setelah sampai di komplek makam, kami pun memastikan kalau disitu adalah tempat yang kami tuju dan si akang tukang somay pun mengamininya sambil menunjukkan arah makam ke belakang bukit.

Menaiki beberapa puluh anak tangga, dan disana berkumpul para ibu-ibu paruh baya yang sedang duduk sambil bersantai ria dengan teman-teman sejawatnya, sapa dan salam pun hormat pun tentunya tidak lupa kami berikan kepada ahlal kubur (penghuni kubur).

Dari tempat berkumpulnya ibu-ibu di atas bukit itu, mereka menunjukkan arah kepada kami makam Cut Nyak Dhien yang berada tepat di bawah bukit. Suasana di komplek makam semakin gelap, suara takbir dari berbagai mushalla dan mesjid terus mengumandang.

Langsung kami bergegas menuju ke bawah bukit, dan disana yang kami temui hanya pintu gapura yang tertulis jelas makam Cut Nyak Dhien. Tapi sayang pintu masuk ke makam sudah terkunci, karena kami tahu bahwa jam kunjung sudah habis sepertinya.

Namun, keberuntungan tidak hilang begitu saja. Seorang wanita paruh baya ternyata menghampiri kami dan menanyakan tujuan kedatangan kami. Lalu kami ceritakan secara singkat, dan wanita itu akhirnya menawarkan untuk mencari si bapak yang memegang kunci walaupun malam langit malam sudah mulai hitam pekat.

Tidak lama menunggu sekitar 10 menit, lalu datanglah seorang bapak dengan peci putihnya lalu memanggil kami untuk masuk lewat pintu samping, si bapak itu bernama Bapak Ace (begitulah panggilannya menurut keterangan istrinya Bu Kokom).

Sambutan khas dengan logat sundanya memang kerasa dari omongan Pak Ace, lalu kami pun bergegas ke toilet sekalian untuk berwudhu menunaikan shalat magrib. Tepat di dalam komplek makam Cut Nyak Dhien terdapat sebuah meunasah (tempat shalat dalam bahasa Aceh) yang dikhususnya bagi penziarah untuk beribadah.

Kurang Perhatian
Setelah menunaikan shalat magrib, saya pun tidak ingat kalau ternyata malam itu tepat jatuhnya malam jum’at kliwon, panteslah banyak orang yang berkunjung ke atas bukit (karena terdapat makam keramat).

Lekas, saya pun tahu akhirnya karena melihat kawan sedang yasinan dan karena berhubung berada di tengah-tengah kawanan kuburan saya pun melepaskan beberapa do’a untuk semua ahlal kubur.

Setelah prosesi berdo’a dan yasinan pun selesai, saatnya kami untuk mengabadikan beberapa gambar dekat makam, keadaan malam yang semakin gelap memberikan suasana yang begitu tenang. Di temani oleh bu Kokom, beliau pun hanya duduk sambil sesekali menjawab pertanyaan dari kami.

Walaupun bu Kokom bukan seorangkuncen di komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang jaman dulu. Orang Sumedang, dulunya mengenal Cut Nyak Dhien dengan sebuah sapaan Parbu atau Ratu.


Kotak amal biru yang selalu berada disisi makam Cut Nyak Dhien/Foto: Dok. Pribadi.

Menurut keterangan bu Kokom, ikhwal harumnya pusara Cut Nyak Dhien pada setiap pagi memang betul adanya. Dan itulah yang selalu bu Kokom rasakan ketika membersihkan makam saban hari dari debu dan sebagainya.

Kalau pun Anda sering menyimak atau membaca berbagai tulisan tentang Cut Nyak Dhien setelah diasingkan oleh Belanda ke Sumedang, memang sangat terlihat batin Cut Nyak Dhien sangat berat untuk meninggalkan Aceh. Dalam benaknya masih terbayang perjuangan suami pertamanya Teuku Ibrahim Lamnga serta suami keduanya Teuku Umar.


Cut Nyak Dhien dan para pengikutnya/Foto: ridiah.wordpress.com

Setelah sempat mengalami kebutaan di usianya yang semakin tua, Cut Nyak Dhien akhirnya bisa sembuh lagi berkat pertolongan dari seorang dokter dari Belanda untuk menyembuhkan sakit beratnya. Tapi, semangat Cut Nyak Dhien untuk memerangi kaphe Belanda tidak pernah padam. Takutnya Belanda dengan semangat perlawanan akan muncul kembali pada pengikutnya, akhirnya dibuanglah ke Sumedang, Jawa Barat.

Karena umur dan kondisi tubuh yang serba melemah, Cut Nyak Dhien hanya bisa berdo’a dan tidak lepas memohon kepada Allah agar Aceh terhindar dari penjajah kaphe Belanda.

Cerita biografi Cut Nyak Dhien pernah diangkat oleh M.H. Szekely Lulofs dalam sebuah buku “Cut Nyak Dien: Kisah Ratu Perang Aceh“.


Sepotong ayat suci Al-Quran, surat At-Taubah ayat 111 menghiasi dibagian makam/Foto: Dok. Pribadi

Namun, dari sederet kisah yang sudah saya paparkan (lebih banyaknya bisa di dapat di AcehPedia.org). Ternyata ada sebuah keluh kesah yang sempat disampaikan oleh bu Kokom, bahwa Pemerintah Aceh setelah dipugarnya makam tersebut sekitar tahun 1987 oleh Gubernur Aceh pada masa itu Ibrahim Hasan, sampai saat ini tidak ada sepeser pun yang mereka terima untuk mengurusi makam tersebut dari hari ke hari (jelas ini menjadi bentuk keprihatinan dari Pemerintah Aceh terhadap situs sejarah Pahlawannya di tanah Jawa Barat).

Sementara, yang masih menjadi juru kunci hampir lebih dari 30 tahun di makam Cut Nyak Dhien ini masih dipercayai kepada Pak Nana (keterangan dari bu Kokom), yang merupakan masih bagian dan keturunan erat dari pemilik tanah makam tersebut yakni keluarga H. Sanusi.

sejarah singkat aceh

Bangsa Aceh termasuk ke dalam lingkungan rumpun bangsa Melayu. Yaitu bangsa-bangsa: Mante (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang dari Tanah Semenanjung Melaka. Ke semua bangsa ini menurut ethnology, ada hubungannya dengan bangsa Phonesia di Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga.

Satu keterangan lain menerangkan tentang bangsa Mante yang tersebut di atas, terutama penduduk Aceh Besar. Menurut cerita orang-orang tua (mythe), tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bansa Mante inilah yang berkembang biak ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.

Adapun lembah Aceh Besar itu (Aceh tiga segi) tatkala itu lautnya (pantai lautnya) Indrapuri dan Tanoh Abee (tanah pasir halus) tempat kediaman orang Hindu. Jadi, Blang Bintang, Ulee Kareng, Lambaro, Lam Ateuk, Lamnyong, Tungkop, Lam Nga, Tibang dan lain-lain masih merupakan laut besar. Dan menurut mythe tadi, kalau orang mau naik kapal berlayar naik haji (pilgrim) pelabuhannya di Aneuk Gle. Montasik, ialah perigi tempat pelaut-pelaut singgah mengambil air. Jadi letaknya kampung Montasik sekarang adalah di tepi laut, sedangkan kampung Ateuk yang berasal dari kata “Gateuek” sebangsa ketam tanah yang hidup di air asin (paya) yang berdekatan dengan laut.

SEBELUM DINASTI USMANIYAH DI TURKI BERDIRI, KERAJAAN ISLAM SAMUDERA PASAI DI ACEH TELAH BERDIRI

Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Mara Silu yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik ul Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik ul Zahir, cucu Malik ul Saleh.

KETIKA SRIWIJAYA-PALEMBANG-BUDDHA LEMAH, MUNCUL SAMUDERA PASAI ACEH ISLAM

Kedaulatan kerajaan Sriwijaya (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra dengan rajanya yang pertama Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang Sumatera Selatan makin kuat dan daerahnya makin luas, setelah daerah dan kerajaan Melayu, Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan daerah Jawa Barat didudukinya Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kekuatannya, ternyata mengundang raja Rajendrachola dari Cholamandala di India selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya. Ternyata dinasti Syailendra ini tidak mampu menahan serangan tentara Hindu India selatan ini, raja Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan, tetapi tetap kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini lemah, muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik ul Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik ul Zahir.

POLITIK SAMUDERA-PASAI-ISLAM BERTENTANGAN DENGAN POLITIK GAJAH MADA-MAJAPAHIT-SYIWA-PALAPA

Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja Jayanegara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit yang diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan “dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit”. Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera-Pasai-Islam di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit menggempur Samudera-Pasai dan mendudukinya. 27 tahun kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara buddha yang berpusat di Palembang ini.

GILIRAN MAJAPAHIT-HINDU DIGEMPUR DEMAK-ISLAM

Ketika raja Hayam Wuruk dari Majapahit meninggal tahun 1389, digantikan oleh putrinya Kusumawardani dan suaminya. Ternyata pada masa ini timbul perang saudara antara Kusumawardani dengan Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari selirnya). Dalam perang saudara yang dikenal dengan nama Paregreg (1401-1406) Wirabhumi bisa dikalahkan.

Akibat dari perang saudara ini Majapahit menjadi lemah dan mundur dan titik lemahnya adalah ketika Girindrawardana memegang tapuk pimpinan Majapahit dan pada tahun 1525 digempur oleh Kerajaan Islam Demak yang dibangun oleh Raden Patah yang tertarik dan belajar Islam di Sunan Ngampel, yang juga sebenarnya Raden Patah ini masih keturunan raja Majapahit yaitu Brawijaya.

ACEH LAWAN PORTUGIS

Ketika kerajaan Islam Samudera-Pasai lemah setelah mendapat pukulan Majapahit dibawah Gajah Mada-nya, maka Kerajaan Islam Malaka yang muncul dibawah Paramisora (Paramesywara) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.

Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mukayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya oleh Sultan-sultan Aceh ini.

Selama periode akhir abad 17 sampai awal abad 19 keadaan Aceh tenang.

SEBAB TIMBUL PERANG ACEH LAWAN BELANDA

Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

PERANG ACEH DARI TAHUN 1873 SAMPAI TAHUN 1904

Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Perang pertama yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Kohler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Kohler sendiri tewas pada tanggal 10 April 1873.

Perang kedua, dibawah Jenderal Van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi’sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.

Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya’ Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.

SIASAT SNOUCK HURGRONYE

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga akhli Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Dimana isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah, Supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan. Menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronye diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya.

TAKTIK PERANG GERILYA ACEH DITIRU VAN HEUTZ

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo’ Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan. Taktik terakhir menangkap Cut Nya’ Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya’ Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur.

SURAT PERJANJIAN PENDEK TANDA MENYERAH CIPTAAN VAN HEUTZ

Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
Asal Nama Negeri Aceh

Sesudah ± tahun 400 Masehi, Sumatera Utara dinamai orang Arab: Rami (Ramni=Kampung Pandee sekarang), oleh orang Tionghoa: Lan-li, Lan-wu-li, Nan-wu-li dan Nan-poli. Yang sebenarnya sebutan Atjeh Lam Muri, oleh sejarah Melayu: Lambri (lamiri) dan oleh Marcopolo Lambri. Sesudah kedatangan Portugis, nama Lambri tak tersebut lagi, melainkan Achem (Atjeh). Orang Portugis dan Italia biasanya mengatakan Achem, Achen, Acen dan orang Arab menyebutkan lagi Asyi, atau juga Dachem, Dagin, Dacin. Penulis-penulis Perancis mengatakan: Achem, Achen, Achin, Acheh. Orang Inggris menyebut: Atcheen, Acheen, Achin. Akhirnya orang Belanda menyebutkan: Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan akhirnya Atjeh. Orang Aceh sendiri mengatakan “Atjeh”, begitu pula nama daerah ini tersebut di dalam tarich Melayu, undang-undang Melayu, di dalam surat-surat Atjeh lama (sarakata) dan pada mata-mata uang Atjeh, emas (derham), uang timah (keuĂ«h) Atjeh dan sebagainya disebut Atjeh. Tentang asal nama ini belum ada keterangan yang jelas.

Di dalam tarich Kedah (Marong Mahawangsa) dari ± tahun 1220 M/ 517 H. Aceh sudah tersebut sebagai satu negeri di pesisir Pulau Pertja (Sumatera). Orang Portugis Barbosa (1516 M/922 H) yaitu orang Eropa yang datang menyebut: Achem dan lagi buku-buku sejarah Tionghoa (1618 M) yang mengenai Aceh mengatakan A-tse. Bentuk yang lebih tua lagi ialah Tadji atau Tashi, yang bagi orang Tionghoa berarti segala negeri Islam: atau pun sebutan kepada negeri Pasai. Pa menjadi Ta.

ACEH TIDAK TERMASUK ANGGOTA NEGARA-NEGARA BAGIAN RIS

41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).

Dimana ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari:
Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville
Negara Indonesia Timur
Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
Negara Jawa Timur
Negara Madura
Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
Negara Sumatra Selatan
Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.

Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.

PENGAKUAN BELANDA KEPADA KEDAULATAN RIS TANPA ACEH

Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)KEMBALI KE NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).

Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama. Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)

MAKLUMAT NII ACEH OLEH DAUD BEUREUEH

3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.

Isi Maklumat NII di Aceh adalah:

Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.

Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.

Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953

DESEMBER 1962 DAUD BEUREUEH MENYERAH KEPADA PENGUASA DAULAH PANCASILA

Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)

HASAN DI TIRO MENDEKLARASIKAN NEGARA ACEH SUMATERA 4 DESEMBER 1976

14 tahun kemudian setelah Daud Beureue menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila, Hasan Muhammad di Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Dimana bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra yang saya kutif dari buku “The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro” (National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984) yang menyangkut ” Declaration of Independence of Acheh Sumatra” (hal: 15-17) adalah “To the people of the world: We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java….In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman, National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh, Sumatra, December 4, 1976″. (“Kepada rakyat di seluruh dunia: Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa….Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 4 Desember 1976″) (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984, hal : 15, 17).

Minggu, 09 Januari 2011

CUT NYAK DHIEN

Cut Nyak Dhien (Lampadang, 1848 – 6 November 1908, Sumedang, Jawa Barat; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi sementara suaminya, Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.


Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880 yang menyebabkan meningkatnya moral pasukan perlawanan aceh. Nantinya mereka memiliki anak yang bernama Cut Gambang.Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda, namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakut encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, disana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh, namun, ia menambah semangat perlawanan rakyat Aceh serta masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap, sehingga ia dipindah ke Sumedang, dan ia meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

Kehidupan awal

Latar belakang keluarga

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Masa kecil

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.Sewaktu kecil, ia memperoleh pendidikan pada bidang agama yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama, rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari) yang dididik baik oleh orang tuanya. Dan juga, banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Sehingga pada usia 12 tahun, dia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Perlawanan saat Perang Aceh

Belanda menyerang Aceh

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citdadel van Antwerpen. Sehingga meletuslah Perang Aceh. Perang pertama (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:“Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?"
Saat itu, Kesultanan Aceh dapat memenangi perang ini. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Kohler tewas tertembak pada April 1873.
Pendudukan VI Mukim

Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Kematian Ibrahim Lamnga

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Pernikahan dengan Teuku Umar

Setelah itu, Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, namun, karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kapke Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang bernama Cut Gambang.

Rencana Teuku Umar

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda untuk menipu orang Belanda, sehingga saat mereka keluar dari hutan mereka berkata:“ Mereka menyadari mereka telah melakukan hal yang salah, sehingga mereka ingin membayar kembali kepada Belanda dengan menolong mereka menghancurkan perlawanan Aceh”


Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komander unit pasukan Belanda dan kekuasaan penuh. Ia menyimpan rencana ini sebagai rahasia, walaupun dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh, bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda, namun, ia masih terus berhubungan dengan Belanda. Teuku Umar mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai menjadi unit Belanda yang merupakan gerilyawan Aceh. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar).

Reaksi Belanda

Teuku Umar yang menghianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan meluncurkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan terbaik dari Belanda dan mengembalikan identitasnya menjadi pasukan gerilyawan dan menyerang Belanda ketika jendral Van Swieten diganti, dipermalukan dan dihina. Penggantinya, jendral Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan pada pertama kalinya.Selain itu, Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.


Pembantaian Jendral Van Der Heyden

Dien dan Umar menekan Belanda dan menduduki Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar) dan Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.Pasukan gerilyawan kuat yang dilatih dan dibuat dan memimpil hal ini sukses. Sejarah yang mengerikan bagi orang Belanda terus terjadi, tetapi, jendral Van Der Heyden ditugaskan dan tidak pernah dilupakan oleh orang Aceh. Pembantaian yang berdarah dilakukan terhadap laki-laki, wanita dan anak-anak pada desa, ketika jendral Van Der Heyden masuk kedalam unit "De Marsose". Mereka dianggap biadab oleh orang Aceh dan sangat sulit ditaklukan, selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya, termasuk rumah dan orang-orang.Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van Der Heyden membubarkan unit "De Marsose".Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan Jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan amsih tetap ada pada populasi Aceh.

Kematian Teuku Umar

Jendral Van Heutz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, dan akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Hal ini diketahui karena diinformasikan oleh informan yang bernama Teuku Leubeh.Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien mendengar kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan Dien berkata:“ Sebagai wanita Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah "Shaheed" ”


Bertempur bersama pasukan kecil

Akibat kematian suaminya, Cut Nyak Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 dan berisi laki-laki dan wanita karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh, selain itu, Cut Nyak Dien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya, termasuk salah satu pasukannya bernama Pang Laot Ali yang melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien pada Belanda karena iba, selain itu, agar Belanda mau memberinya perawatan medis dan membawa Belanda ke markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.

Ditangkap Belanda

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda sehingga Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian, dan Pang Karim, pasukannya berkata akan menjadi orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya.Akibat Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, ia tertangkap dan ia mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh, namun aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda. Ia ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia dipindah ke Sumedang berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12). Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan ia terus melanjutkan perlawanan yang sudah dilakukan ayah dan ibunya

Masa tua

Setelah ia ditangkap, ia dibawa ke Banda Aceh dan dirawat disitu. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Belanda takut bahwa kehadirannya akan membuat semangat perlawanan, selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk, akhirnya Belanda kesal, lalu ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

Dibuang di Sumedang

Ia dibawa Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lainnya dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja, selain itu, tahanan laki-laki juga mendemonstrasikan perhatian pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Sampai kematiannya, masyarakat Sumedang tidak tahu siapa Cut Nyak Dhien yang mereka sebut "Ibu Perbu" (Ratu).[6] Selama ia ditahan, ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien yang tidak dapat bicara bahasanya merupakan sarjana Islam, sehingga ia disebut Ibu Perbu.[1] Ia mengajar Al-Quran di Sumedang sampai kematiannya pada tanggal 8 November 1908. Ketika masyarakat Sumedang sudah beralih generasi dan gelar Ibu Perbu telah hilang, pada tahun 1960-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda, diketahui bahwa perempuan tersebut merupakan pahlawan dari Aceh yang diasingkan berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12).

Kematian

Setelah ia dipindah ke Sumedang, pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Pada tahun 1960, orang lokal Sumedang yang mencari tahu kembali siapakah "Ibu Perbu", telah meninggal, namun, informasi datang dari surat resmi pemerintah Belanda pada "Nederland Indische", ditulis oleh Kolonial Verslag, bahwa "Ibu Perbu", pemimpin pemberontakan provinsi Aceh telah dibuang di Sumedang, Jawa Barat. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh yang dikirim ke Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhien, "Ratu Jihad" dan diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Makam Cut Nyak Dhien

Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan, dan pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran, selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani Ibrahim Hasan, Gubernur Daerah Istimewa Aceh di Sumedang tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beson dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama besar dari Sumedang yang pernah dibuang ke Ambon yang bernama H. Sanusi, dan juga keluarga H. Sanusi merupakan pemilik tanah kompleks makam Cut Nyak Dhien.

Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surat At Taubah dan Al Fajar serta hikayat cerita Aceh.

Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia sehingga mengurangi jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien, selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat, bahkan tidak ada yang tahu letak makam Cut Nyak Dhien berada di Gunung Puyuh.

Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.

Teuku Umar (1854-1899)

t-umarPribadi yang Cerdas, pemberani &

pantang menyerah

Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran sangat besar terhadap perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini, banyak muncul pahlawan-pahlawan nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk rakyat Aceh saja tapi juga untuk rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899.
Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Meulaboh.
Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas , dan pemberani.
Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya (Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun). Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng.
Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) perang kembali pecah di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legiun pasukan sendiri  yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.
Ketika bergabung dengan Belanda, Teuku Umar pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh, namun hal tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura/ bersandiwara untuk mengelabuhi Belanda agar Teuku Umar diberi peran yang lebih besar oleh Belanda. ternyata taktik tersebut berhasil, sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.
foto-teuku-umarPada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar mengajak rakyat Aceh untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda. Gubernur Deykerhorf sangat marah atas tindakan yang dilakukan Teuku Umar dan memerintahkan Van Heutsz agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.
Atas pengabdian dan perjuangan serta semangat juang rela berkorban melawan penjajah Belanda, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.

Asal Usul Tuanku Imam Bonjol

Asal Usul Tuanku Imam Bonjol dan Gerakan Paderi atau Perang Paderi (1803-1838), di Minangkabau



Bermula dari kontroversi Buku Tuanku Rao.
Senin, 22/09/2008 11:02 WIB
Tuanku Rao
Pengarang: Mangaradja Onggang Parlindungan
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Juni 2007
Ukuran: 691 halaman


Sinopsis:
Buku ini melihat Gerakan Paderi dengan sudut pandang etnis Batak. Berbeda dengan umumnya sejarah Paderi yang menggunakan sudut pandang etnis Minang. Gerakan Paderi (1803-1837) selaku cabang Gerakan Wahabi di Arab, merupakan gerakan radikalisme Hambali Zealots, begitu keyakinan Mangaradja Onggang Parlindungan.

Gerakan perang Paderi dilatarbelakangi perintah langsung Abdullah Ibn Saud Raja Arab Saudi kepada tiga tawanan perang bersuku bangsa Minangkabau Kolonel Haji Piobang, Mayor Haji Sumanik dan Haji Miskin. Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekkah dari tangan Turki, 1802. Para pecundang tidak dihukum mati boleh lepas bebas. Kompensasinya, mereka harus membuka cabang Gerakan Wahabi sesampai di kampung halaman.
Pembentukan pasukan Wahabi Minangkabau dipercayakan pada Kolonel Haji Piobang. Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja Abdullah Ibn Saud, cikal bakal pasukan Paderi. Kelak jadi army group Tuanku Rao yang melakukan ekspansi di tanah Batak.

Dengan meriam, pasukan Paderi mampu menembus dan mengobrak abrik isolasi alam Tapanuli yang terlindung pegunungan Bukit Barisan dan lembah Danau Toba. Di bawah pimpinan Pongkinangolngolan pasukan Paderi memancung kepala Singamangaradja X dalam penyerbuan ke Bakkara, ibukota Dinasti Singamangaradja tahun 1819.

Pongkinangolngolan merupakan anak hasil perkawinan sumbang (incest) Putri Gana Sinambela dengan pamannya Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana Sinambela sendiri kakak dari Singamangaradja X. Pongkinangilngolan seperti dituturkan Onggan Parlindungan dibuang karena dianggap anak haram jadah dan sumber aib keluarga.

Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau dan bekerja pada Datuk Bandaharao Ganggo. Pada waktu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik tiga tokoh pembaharuan abad ke-19 baru kembali dari Mekah, mereka mempersiapkan tentara untuk ekspansi gerakan Mashab Hambali ke Mandailing mendapat dukungan Tuanku Nan Renceh karib Datu Bandaharao. Renceh terkesima dengan mengetahui nasib dan silsilah Pongkinangolngloan. Pongkinangolngolan rupanya sangat baik digunakan dalam rangka merebut dan menduduki tanah Batak. Oleh Tuanku Nan Renceh, Pongkinangolngolan diberi nama Panglima Umar bin Khatab. Sebagai perwira Paderi, Pongkinangolngolan diangkat dengan gelar Tuanku Rao. (musfi)

http://www.padang-today.com/index.php?today=library&j=2&id=47

Sanak, kesalahan terbesar dari buku ini adalah penulis tidak mengetahui sejarah Batak dengan benar. Pongki Nangolngolan sebenarnya adalah menantu dari Tuanku Rao.

Wassalam,
-datuk endang


Syafruddin AL dari Bogor :
Beberapa waktu lampau ambo pernah meminta info di milis ko tentang; Apakah benar ayah Tuanku Imam Bonjol berasal dari Pagaruyung? Alhamdulillah sampai babarapo lamo indak ado nan manjawek. Kalau pun ada Pak Antonius Syam, seorang penulis dan anak Bapak Datuak Lubuk Sati nan manjalehkan, tetapi jawabannya juga kurang tageh. Ia cuma bilang bahwa waktu terjadi suatu kerusuhan di Pagaruyung, ada seorang perempuan keluarga raja yang lari bersama putranya bernama Nurudin ke 50 Kota. Nurudin ini kemudian dikenal dengan Buya Nudin yang menikah dengan hamatun dan melahirkan anak bernama Peto Syarif alias Tuanku Imam Bonjol.

Ambo lah cubo pulo tanyo suok kida, termasuk dengan Pak Djufri Dt. Lubuk Sati sendiri (seorang penulis sejarah Minang) tentang siapa ayah Buya Nudin itu? Beliau mengaku belum menemukan ranjiinya. Apakah benar dia anak Muningsyah II atau baradiak kakak jo Sultan Babagarsyah, belum dapat disimpulkan.

Antonius (anak Pak Datuak Lubuak Sati) tidak menyebutkan siapa ayah Buya Nudin. Cuma dia pernah menyebutkan dalam sebuah "bukunya" tentang Syech Abdul Wahab bahwa Buya Nudin ini hilang begitu saja dari Minangkabau. Diperkirakan oleh Antonius, beliau menghilang di Selayo, Solok (benar atau tidak, ambo indak tahu). Info lain menyebutkan Buya Nudin ini menghilang sekitar tahun 1777.

Beberapa bulan lewek ambo juga pergi ke Sanrabone, Sulawesi Selatan untuk melihat pekuburan urang Minangkabau di daerah ini. Kami diantar langsung oleh Bupati Takalar ke sebuah kuburan dengan nama "Datuk Mahkota Minangkabau" dengan tahun 1589. Datuk Mahkota inilah yang dikisahkan sebagai ulama yang meng-Islamkan raja Goa. Tak jauh dari kuburan Datuk Mahkota, juga terdapat kuburan anak Datuk Mahkota bernama Nurudin. Nurudin inilah yang melanjutkan mengajarkan Islam di Sanrabone dan Goa.

Ambo hanya bisa mencocokkan angka tahun. Maksudnya begini: Kalau buya Nudin menghilang di Minangkabau atau yang jadi ayah Imam Bonjol, tentu dia lahir dan ada di Minangkabau sekitar tahun 1700-an, karena Imam Bonjol dewasa berperang di Minang pada tahun 1800-an. Sedang Nurudin yang di Sanrabone itu adalah anak Datuk Mahkota yang tercatat di makamnya tahun 1589 (keturunannya sekarang mengaku sebagai generasi ke 10 dan 11).

Kalaulah Buya Nudin yang hilang di Minangkabau sekitara akhir 1700-an, mestinya Nurudin yang ada di Sanrabone (kalau memang pelarian dari Minangkabau) tentu mereka mestinya ada di sana sekitar akhir tahun 1700-an pula, bukan tahun 1589 atau awal 1600-an.

Dalam fakta semetara yang ada sekarang, Nurudin yang merupakan anak Datuk Mahkota yang berkubur di Sanrabone hidup antara 1589 - 1600-an, berjarak 100 tahun lebih dulu dari Buya Nudin yang lahir di Minangkabau.

Menurut ambo, keduanya (Nudurudin di Sanrabone dengan ayahnya Datuk Mahkota) dan Buya Nudin di Minangkabau yang disebut-sebut punya talidarah ke Pagaruyung, adalah dua fakta sejarah yang memang perlu ditelusuri oleh ahlinya untuk mencari kebenaran, bukan untuk mengaburkan kebenaran.

Terima kasih, mohon maaf kalau ada yang kurang sreg dengan penjelasan ambo ko. Ini demi fakta sejarah masa lalu kita.

Wassalam

Syafruddin AL
45 tahun, tingga di Bogor


Arman Bahar menyebutkan :

Sewaktu Sutan Muning Syah II mangkat 1798, putra mahkota Rajo Alam Sutan Bagagar Syah masih berumur 9 tahun sehingga sang putra mahkota diperwalikan oleh paman beliau yang bergelar Muning Syah III hingga tahun 1803

Ketika itu Rajo Muning Syah III sedang menghadiri 40 hari wafatnya salah seorang kerabat raja di Koto Tangah Tanjuang Barulak, terjadi perselisihan kecil antara sesama kerabat dimana salah seorang diantaranya mengatakan bahwa acara ma-ampek puluah hari tersebut adalah tidak sesuai dengan Syariat tidak ada contohnya dari Rasulullah, perbedaan pendapat ini semakin memanas dan berkembang menjadi konflik pisik antara para dubalang dengan murid2 Tuanku Lintau dan selanjut dalam hitungan menit dengan cepat berkembang menjadi prahara yang ber-darah2 dan terbakarnya Istana Pagaruyuang

Putra Mahkota Yamtuan Sutan Bagagar Syah yang masih sangat belia itu bersama saudara perempuan-nya Yamtuan Puti Reno Haluih dan suaminya Yamtuan Sutan Sumbayang III yang menjabat sebagai Rajo Ibadat yang bermarkas di Sumpur Kudus di-ungsikan dimalam pekat itu ke Rantau Singingi (sekarang Kabupaten Kuantan Singingi Riau)

Sampai sekarang masih ada Istana Puti Tuanku Gadih di Kuantan Singingi bahkan sang Puti berkenan menurunkan ilmu silat kepada kaum hawa dilingkung istana yang sekarang kita kenal sebagai Silek Pangian

(Kalau berkenan silahkan ralat bahwa pengungsian tersebut bukan ke luhak 50 Koto)

Tuanku Imam Bonjol dilahir 1772 dan diberi nama Muhammad Shahab dari ibu yang bernama Hamatun yang orang Arab Hadramaut Yaman Selatan

Hamatun bersama saudara laki2nya As Sayid Usman sampai kedaerah Bonjol dalam rangka berda'wah dan berniaga

Karena Hamatun menikah dengan salah seorang kemenakan Datuak Tumangguang (suku Koto) maka oleh sang datuak sepasang suami istri yang baru menikah ini di-hibahkan sebidang tanah yang sekarang disebut Kampuang Koto di Bonjol, sedangkan Sayid Usman saudara Hamatun ditanah itu juga mendirikan surau / pesantren

Suami Hamatun (ayah Imam Bonjol) mendapat pendalaman agama Islam baik dari istri beliau sendiri maupun dari saudara istrinya Sayid Usman, adakah hubungan ayah Imam Bonjol dengan Istana Pagaruyuang dan siapakah namanya masih sedang di-sigi2

Yang jelas ketika Muhammad Shahab mengakhiri masa lajangnya dan dia harus diberi gelar, ketek banamo gadang bagala, ketek banamo Muhammad Shahab dek mamak urang Arab dan indak pulo berhak mewariskan gala mako dilakek-kan gala agamo "Tuanku Mudo Petho Syarif" yang kemudian sewaktu perang Padri digelarkan Tuanku nan di Bonjo

Tuanku Lareh nagari Bonjo nan banamo Na'ali Sutan Caniago menulis dalam bahasa Minangkabau beraksara Arab dalam catatan-nya disebutkan bahwa Tuanku Imam Bonjol wafat dan dikuburkan di Kampuang koto tanah kelahiran-nya sendiri, kitab naskah ini sekarang disimpan oleh Haji Qoharuddin dirumah kaum Caniago di Bonjol, foto kopinya pernah diserahkan oleh salah seorang kerabat Caniago yang bernama Zainul Anwar Jakarta kepada Dr. Priyono pakar sejarah yang juga pernah jadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1966-1975

Tuh,…kan, bingung mana yang benar versi Belanda yang mengatakan Imam Bonjol terakhir dibuang ke Palopo Manado dan wafat disana atau versi Tuanku Lareh

Wallahualam bissawab
Abp57

Sanak ABP yth.
Dari info sanak ado babarapo informasi baru nan dapek ditelusuri lebih lanjut, memang versinyo sangat berbeda. Memang disabuikkan TIB memiliki duo urang istri, nan di kampuang Bonjol itu basuku Chaniago. Kudian ukatu kejatuhan Bonjol, beliau mengungsi ka rimbo gadang yang kini manjadi ulayat suku Jambak.
Namun sabananyo ambo agak kurang sumangek menelaah masalah geneologis iko, karono dapek mengaburkan makna perjuangan Paderi itu sendiri.

Wassalam,
-datuk endang

Pak Arman,
Jadi, ini kitab yg lain daripada Naskah Tuanku Imam Bonjol yang raib itu?
Agak bingung saya.

Salam,
Suryadi


2008/11/4, arman bahar :
Assalamualaikum ww

Itulah yang juga banyak bikin kita binggung, terkadang tidak semua sumber Ulando benar apalagi kadang sarat dengan berbagai kepentingan entah itu kepentingan kolonial entah pula membonceng di situ kepentingan para zending protestan atau memang kacamata mereka berbeda yang memandang pribumi Melayu sebagai pembrontak sementara tulisan lain dari sudut perjuangan rakyat tertindas melawan penjajah

Sabana no TIB di samping memiliki perpustakaan lengkap yang didapat dari paman2nya (garis ibu) yang bolak balik ke jazera Arab beliau juga banyak menulis terutama tentang Tafsir, Hadist, Tasauf, Fekah, Nahu, Syaraf, Ma'ani dan Mantiq namun ketika Jihad Paderi semakin bergejolak kesempatan menulis menjadi sangat berkurang kecuali sedikit berupa catatan2 lepas tentang keseharian dan perjuangan beliau, catatan2 lepas inilah sebenarnya yang penting karena belum sempat disatukan posisi beliau dan pengikut2nya semakin terdesak sehingga naskah2 yang sebagian disimpan pembantu2nya hingga kini masih sulit dilacak

Semua kitab2 tersebut dan tulisan2 tangan TIB yang lebih lengkap masih disimpan oleh ahli waris beliau salah seorang di antaranya bernama Ahmad Marzuki di Pematang Siantar

wasalam
abp57


Singgalang, Senin, 20 Oktober 2008

Padang,
Leluhur Tuanku Imam Bonjol dari jalur nasab berhasil ditelusuri dengan menggunakan metode ranji ABS SBK dan dukungan Arsip Nasional.

Ayah pahlawan besar ini, Khatib Bayunuddin ternyata seorang bangsawan Kerajaan
Pagaruyung. Namun akibat konflik, ia bersama 40 orang pengiringnya, mengundurkan diri ke luar Minangkabau dan akhirnya mendarat di Sulawesi Selatan. Demikian antara lain catatan yang dapat ditarik dari diskusi pendalaman lebih lanjut dari latar belakang doktrin Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK) sebagai jati diri Minangkabau, di
Bagindo Aziz Chan, Padang, Sabtu (18/8).

Acara dilaksanakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Padang bekerjasama dengan Gebu Minang. Dalam acara pembukaan, selain Ketua Gebu Minang, Mayjen (Purn) Asril H. Tanjung S.Ip., juga memberikan sambutan tertulis Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi.

Dalam pertemuan ini dibedah dua buah buku, yaitu buku Christine Dobbin, edisi 2008, "Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1847, Komunitas Bambu, Jakarta, serta buku Drs. Sjafnir Aboe Nain, 2008, "Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau (1784-1832), Penerbit Esa, Padang.

Panelis terdiri dari Dr. Gusti Asnan, Dr. Erwiza Erman, MA., Drs. Sjafnir Aboe Nain, serta Drs. Zulqoyyim. Seluruh panelis menghargai pendekatan komprehensif yang digunakan Christine Dobbin, yang didukung data yang amat kaya, sehingga sangat bermanfaat dalam upaya memahami sejarah Minangkabau.

Dalam diskusi inilah kemudian diketahui, keturunan Tuanku Imam Bonjol dari jalur nasab, yang menghasilkan dua temuan, yaitu bahwa ayah Tuanku Imam Bonjol, Khatib Bayanuddin, ternyata adalah seorang bangsawan kerajaan Pagaruyung.

Peserta secara khusus memberikan perhatian pada penegasan Dobbin, Perang Paderi bukanlah merupakan perang antara kaum adat dengan para ulama, sebab pada kedua belah pihak terdapat baik kaum adat maupun para ulama.

Dari data yang ada dapat diambil kesimpulan substansi doktrin ABS SBK berasal dari Tuanku Imam Bonjol, setelah ia menyadari dan mendapat laporan dari empat orang utusan yang dikirim ke Tanah Suci bahwa kekerasan yang dilakukan kaum Paderi sebelum itu adalah merupakan suatu kesalahan dan harus diperbaiki.

Untuk mendalami keseluruhan aspek dari Gerakan Paderi ini, serta untuk menindaklanjuti doktrin ABS SBK, telah dibentuk dan diresmikan sebuah 'Lembaga Kajian Gerakan Paderi, 1803-1838'

Dalam acara ini juga telah diperkenalkan Ranji ABS SBK dengan mempergunakan software Family Tree Maker yang telah dibahas amat intensif di kalangan para perantau yang aktif di RantauNet, yang menggabungkan ranji adat berdasar sistem kekerabatan matrilineal dengan ranji berdasar ajaran nasab yang diajarkan agama Islam. Diketahui pula rombongan ayah Tuanku Imam Bonjol di Sulawesi Selatan kemudian beranak pinak. Orang Bugis mencatat dengan cermat peristiwa tersebut, dan menyampaikan keinginan agar tali darah antara orang Bugis dengan kerajaan Pagaruyung ini disegarkan kembali.

Keinginan tersebut ditampung dalam susunan kepengurusan Lembaga Kajian Gerakan Paderi 1803-838. Salah seorang cucu Tuanku Imam Bonjol, Hari Ichlas, seorang pengusaha, telah memperoleh kepastian hukum tentang hubungan darahnya menurut garis nasab dengan Tuanku Imam Bonjol, yang selain dikukuhkan dengan sebuah akta notaris juga didaftarkan pada pengadilan negeri dan pengadilan agama.

Sekadar catatan, terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara kesimpulan acara bedah buku Dobbin yang sama di Unimed Medan pada tanggal 14 Oktober 2008, yang pada umumnya mereduksi masalah Perang Paderi ini pada masalah ekonomi dan logistik belaka, dan cenderung menyebut Perang Paderi sebagai 'perang dagang' dan secara kategoris menyatakan bahwa Perang Paderi bukan 'perang agama'.

Kesimpulan dari acara bedah buku di Padang ini sangat berbeda, dengan memberikan perhatian pada keseluruhan aspek yang terkait dengan gerakan Paderi , baik aspek politik, ekonomi, sosial budaya, agama, dan militer, yang juga mengandung aspek-aspek baik yang dapat ditindaklanjuti melalui pengkajian yang lebih mendalam serta secara terus menerus.

Menurut Gusti Asnam "Buku karya Christin Dobbin ini menjadi ikon kajian tentang Islam di Minangkabau karena merupakan sebuah hasil studi yang mengkombinasikan sejarah ekonomi, sosial, politik, perang, dan agama, yang sangat relevan" kata Gusti.

Pada acara yang digelar di Gedung Bagindo Aziz Chan sejak pukul 09.00 WIB tersebut turut dilantik pengurus Lembaga Kajian Gerakan Paderi dan pembacaan hasil rumusan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Ketua Dewan Penasehat GEBU Minang dan Penggagas Lembaga Kajian Gerakan Paderi, Saafroedin Bahar, mengatakan Perang Paderi selama ini hanya identik dengan kekejaman. Padahal, menurutnya tanpa Perang Paderi mungkin saja saat ini masih banyak orang Minang yang melakukan tindakan menyimpang seperti sabung ayam.

Lembaga Kajian Gerakan Paderi adalah sebuah organisasi yang digagas salah satunya untuk menjernihkan pemahaman terhadap keseluruhan Gerakan Paderi, termasuk untuk mencegah timbulnya prasangka yang akan merugikan persatuan dan kesatuan bangsa.cr08

http://www.hariansinggalang.co.id/index.php?option=com_content&task=view
&id=3785&Itemid=1:testset

Asal Usul Tuanku Imam Bonjol
Sewaktu Sutan Muning Syah II mangkat 1798, putra mahkota Rajo Alam Sutan Bagagar Syah masih berumur 9 tahun sehingga sang putra mahkota diperwalikan oleh paman beliau yang bergelar Muning Syah III hingga tahun 1803

Ketika itu Rajo Muning Syah III sedang menghadiri 40 hari wafatnya salah seorang kerabat raja di Koto Tangah Tanjuang Barulak, terjadi perselisihan kecil antara sesama kerabat dimana salah seorang diantaranya mengatakan bahwa acara ma-ampek puluah hari tersebut adalah tidak sesuai dengan Syariat tidak ada contohnya dari Rasulullah, perbedaan pendapat ini semakin memanas dan berkembang menjadi konflik pisik antara para dubalang dengan murid2 Tuanku Lintau dan selanjut dalam hitungan menit dengan cepat berkembang menjadi prahara yang ber-darah2 dan terbakarnya Istana Pagaruyuang

Putra Mahkota Yamtuan Sutan Bagagar Syah yang masih sangat belia itu bersama saudara perempuan-nya Yamtuan Puti Reno Haluih dan suaminya Yamtuan Sutan Sumbayang III yang menjabat sebagai Rajo Ibadat yang bermarkas di Sumpur Kudus di-ungsikan dimalam pekat itu ke Rantau Singingi (sekarang Kabupaten Kuantan Singingi Riau)

Sampai sekarang masih ada Istana Puti Tuanku Gadih di Kuantan Singingi bahkan sang Puti berkenan menurunkan ilmu silat kepada kaum hawa dilingkung istana yang sekarang kita kenal sebagai Silek Pangian

(Kalau berkenan silahkan ralat bahwa pengungsian tersebut bukan ke luhak 50 Koto)

Tuanku Imam Bonjol dilahir 1772 dan diberi nama Muhammad Shahab dari ibu yang bernama Hamatun yang orang Arab Hadramaut Yaman Selatan

Hamatun bersama saudara laki2nya As Sayid Usman sampai kedaerah Bonjol dalam rangka berda'wah dan berniaga

Karena Hamatun menikah dengan salah seorang kemenakan Datuak Tumangguang (suku Koto) maka oleh sang datuak sepasang suami istri yang baru menikah ini di-hibahkan sebidang tanah yang sekarang disebut Kampuang Koto di Bonjol, sedangkan Sayid Usman saudara Hamatun ditanah itu juga mendirikan surau / pesantren

Suami Hamatun (ayah Imam Bonjol) mendapat pendalaman agama Islam baik dari istri beliau sendiri maupun dari saudara istrinya Sayid Usman, adakah hubungan ayah Imam Bonjol dengan Istana Pagaruyuang dan siapakah namanya masih sedang di-sigi2

Yang jelas ketika Muhammad Shahab mengakhiri masa lajangnya dan dia harus diberi gelar, ketek banamo gadang bagala, ketek banamo Muhammad Shahab dek mamak urang Arab dan indak pulo berhak mewariskan gala mako dilakek-kan gala agamo "Tuanku Mudo Petho Syarif" yang kemudian sewaktu perang Padri digelarkan Tuanku nan di Bonjo

Tuanku Lareh nagari Bonjo nan banamo Na'ali Sutan Caniago menulis dalam bahasa Minangkabau beraksara Arab dalam catatan-nya disebutkan bahwa Tuanku Imam Bonjol wafat dan dikuburkan di Kampuang koto tanah kelahiran-nya sendiri, kitab naskah ini sekarang disimpan oleh Haji Qoharuddin dirumah kaum Caniago di Bonjol, foto kopinya pernah diserahkan oleh salah seorang kerabat Caniago yang bernama Zainul Anwar Jakarta kepada Dr. Priyono pakar sejarah yang juga pernah jadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1966-1975

Tuh,…kan, bingung mana yang benar versi Belanda yang mengatakan Imam Bonjol terakhir dibuang ke Palopo Manado dan wafat disana atau versi Tuanku Lareh

Wallahualam bissawab

neil armstrong

Kisah Neil Amstrong Masuk Islam

Quantcast

copy-of-copy-of-neilarmstrongIni merupakan sebuah bukti kebenaran agama Islam, seorang astronot bernama Neil Armstrong telah menemukannya di bulan. Simaklah kisahnya dari awal sampai akhir.
———————————————————————-
Neil Armstrong adalah orang pertama yang mendarat di bulan. Neil pergi ke bulan menggunakan pesawat ruang angkasa USA bernama Apollo, bersama rekannya Buzz Aldrin. Pergi ke bulan merupakan hal yang amat menakjubkan bagi Neil. Saat-saat masa keberhasilannya itu, tak pernah ia lupakan.
Sampai akhrinya 30 Tahun berlalu,
Saat itu neil memutuskan untuk mengambil cuti kepada pihak NASA. Ia menghabiskan liburannya dengan berwisata ke Mesir. Ini kali pertama ia mengunjungi Kairo,atau pertama kalinya ia mengunjungi sebuah negeri Islam dalam rangka berwisata mencari hiburan dan mengembalikankesegaran setelah penat menghadapi rutinitas pekerjaan.
Beralih ke Mesir, akhirnya  neil bersama wisatawan lain sampailah ke sebuah hotel yang terletak di tengah kota Kairo. Setelah beres mengurus registrasi, dengan tertatih dia pergi menuju kamarnya untuk beristirahat setelah letih menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Amerika menuju Kairo. Dan ketika dia berbaring di ranjang, tiba-tiba terdengarlah kumandang adzan…
Allahuakbar….. Allahuakbar…..
Ketika mendengar seruan itu, ia berpikir bahwa ini bukan pertama kali ia mendengar seruan seperti ini. Neil berpikir keras dimana dia pernah mendengarnya sebelumnya? Neil terus berusaha mengingat, tetapi dia tetap tidakmampu menemukan jawabannya.
Kemudian ia duduk, berdiri dan berjalan menuju kamar kecil, kemudian pergi mengambil makanan fast food sebelum turun untuk makan malam di lantai dasar.
Di ruang makan ketika dia sedang mengunyah sisa makanannya sambil ngobrol bersama dua orang temannya, kembali terdengar kumandang adzan dari salah satu menara mesjid yang banyak tersebar di Kairo, ia pun lantas terdiam, mencoba menyimak & menghayati lantunan kalimat-kalimat adzan yang didengarnya.
Kemudian dia berseru memanggil salah seorang pelayan yang ada disana & bertanya dengan bahasa inggris, “apakah kamu bisa berbahasa inggris?”
Si pelayan menjawab, “bisa sedikit tuan.”
Neil tersenyum & berkata, “seruan apa yg barusan tadi terdengar?”
Pelayan tadi menjawab, “maaf saya tidak mengerti maksud tuan.”
Neil berisyarat mengumandangkan adzan dengan terbata terbata, “Allahu akbar… Allahu akbar.”
Pelayan kemudian berkata, “itu panggilan untuk sholat, panggilan kepada seluruh kaum muslimin untuk pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat yg dilakukan lima kali sehari.”
Neil pun mengucapkan terima kasih atas penjelasannya. Kemudian dia melanjutkan makan malamnya dengan duduk diam tanpa berkata apapun. Tiba-tiba ia bangkit dan meninggalkan teman-temannya lalu naik menuju kamarnya sambil berpikir, “pasti aku mendengarnya di salah satu film yg pernah aku tonton”. Sejenak dia berhenti berpikir, “ataupun mungkin di tempat lain?”.
“Ah tidak, bukan di film, aku mendengarnya dgn telingaku sendiri menggema di udara, tetapi dimana?” Sampai dia beranjak tidur pernyataan ini masih berputar di kepalanya. Ketika fajar menyingsing, Neil terbangun oleh suara adzan yang kembali berkumandang membelah angkasa :
Allahu akbar………Allahu Akbar………
Dia pun segera bangkit, duduk di tepi ranjang seraya mengerahkan segenap perhatiannya untuk mendengarkan suara itu, bersamaan dengan berakhirnya kumandang adzan, Neil teringat kembali bayangan tiga puluh tahun silam yang masa itu merupakan masa gemilang dalam hidupnya. Ketika itu dia mengendarai pesawat luar angkasa milik USA , Apollo, yg merupakan pesawat pertama dalam sejarah yg mampu mendarat di bulan. Tiba-tiba ia sadar bahwa “Ya, disanalah aku mendengar seruan ini untuk pertama kalinya dalam hidupku.” ungkapnya.
Kemudian dia berseru dalam bahasa inggris tanpa sadar, “Wahai Tuhan yang Maha Suci, Ya Tuhan, benar aku ingat bahwa disanalah, dipermukaan bulan itu aku dengar seruan itu untuk pertama kalinya dalam hidupku, dan disini, di Kairo, aku mendengarnya di bumi.”
Kemudian dia membaca sesuatu dan berusaha untuk kembali tidur, tetapi dia tidak bisa, diambilnya sebuah buku dari dalam tasnya dan mulai membacanya untuk merintang waktu hingga pagi menjelang, dia membaca tetapi pikirannya melayang entah kemana dan dia sama sekali tidak mengerti isi buku yang dibacannya.
Dalam hati dia berharap untuk mendengar lagi seruan itu. Hingga pagi dia membaca seperti itu dengan harapan akan kembali mendengar suara adzan, tetapi seruan yang ditunggu tidak kunjung terdengar.
Akirnya dia bangkit dan pergi ke kamar kecil dan mencuci mukanya, dengan cepat ia turun ke ruang makan untuk sarapan. Setelah itu dia pergi bersama sekelompok wisatawan untuk berkeliling, sementara itu seluruh panca ineranya dia pasang untuk menantikan saat dimana dia akan kembali mendengar lantunan seruan yang menggugahnya itu. Dia ingin meyakinkan dirinya sebelum memberitahukan wisatawan yang lain akan hal penting ini.
Kemudian rombongannya memasuki sebuah Museum Fir’aun dan di saat itu ia kembali mendengar kumandang adzan yang mengalun merdu dengan irama yang indah dari sebuah pengeras suara di museum. Neil meninggalkan rombongannya dan berdiri disamping pengeras suara itu sambil memperhatikan dengan seksama, di pertengahan adzan dia berseru memanggil temannya, “ hei, kesini, dengarkan seruan ini”.
Teman-temannya datang menghampiri dengan heran. Ketika salah seorang kelihatan akan berbicara, Neil memberi isyarat kepadanya agar diam dan mendengarkan seruan itu. Barulah setelah adzan selesai, Neil bertanya kepada mereka, “apakah kalian mendengarnya?”
“ya”, jawab mereka.
“tahukah kalian dimana aku pernah mendengarnya sebelum ini? Aku mendengarnya di permukaan bulan pada tahun 1969.”
Berserulah teman dekatnya, “Mr. Armstrong, mari kita kesana untuk bicara sebentar.” Kemudian mereka berdua pergi ke salah satu sudut & mulai bercakap-cakap tentang perasaannya yang aneh.
Tak lama kemudian Neil meninggalkan rombongannya dan mencegat taxi untuk pulang ke hotel, diwajahnya terlihat kemarahan dan emosi yg berkecamuk. “Bagaimana mungkin dia berkata bahwa aku mengada-ada dan aku telah gila?” pikirnya.
Neil berdiri di kamarnya selama dua jam sambil berbaring di atas ranjang sambil menunggu-nunggu suara adzan kembali, dan saat itu terdengarlah adzan Ashar.
Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Neil bangkit dari posisinya, berdiri lalu membuka jendela dan untuk kesekian kalinya memperhatikan seruan itu, kemudian dia berseru, “tidak,aku belum gila, aku tidak gila, aku bersumpah demi Tuhan bahwa inilah yang aku dengar di permukaan bulan.”
Neil turun ke ruang makan agak terlambat agar tidak bertemu dengan temannya.
Sampailah ketika hari liburnya berakhir, Neil beserta wisatawan lain akan pulang ke Amerika….
Neil sengaja menghindari semua teman-teman seperjalannya, hingga mereka kembali ke Amerika.
Di Amerika Neil berusaha mendalami agama Islam, disaat itu ia mulai tertarik dengan Islam. Akhirnya, beberapa bulan kemudian, ia mengumumkan keislamannya, dan mengungkapkannya dalam suatu wawancara bahwa ia menyatakan masuk islam karena dia telah mendengar kumandang adzan dengan telinganya sendiri di permukaan bulan.
Asyhadu an laa ilaaha illallaah…
Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah…
Tetapi tak lama kemudian datanglah sepucuk surat dari NASA, berisi keputusan tentang pemecatannya dari pekerjaannya. Pendeknya NASA berlepas diri dan tidak mau membantu astronot yang pertama mendarat di bulan itu, karena dia menyatakan diri masuk Islam, dan menyangkal tentang terdengarnya adzan di permukaan bulan.
Neil Armstrong berseru dalam sebuah majalah mempertanyakan pertanggung jawaban mereka perihal keputusan pemecatannya, “Memang aku kehilangan pekerjaanku, tetapi aku menemukan Allah”