Label

Selasa, 15 Maret 2011

Aliran Sesat di Serambi Mekah


MUSIBAH kali ini bukanlah musibah air bah seperti tsunami tahun 2004 yang lalu, tapi musibah kali ini adalah musibah umat muslim Aceh yang kembali digoncangkan oleh aliran sesat di tanah Serambi Mekkah dengan pendangkalan akidah yang lazim kita jumpai.

Berita yang begitu anyar di media akhirnya terungkap juga, kali ini Banda Aceh yang menjadi sasaran empuknya pada dedengkot yang menjadi da’i untuk mencari pengikutnya itu.

Tepat awal Maret lalu, Pemerintah Kota Banda Aceh telah mensinyalir kehadiran komunitas/kelompok/organisasi yang bertentangan dengan syariat Islam tersebut, namun saat itu belum diketahui secara pasti apa nama dari komunitas atau aliran tersebut.

Tidak lama berselang beberapa hari, berbagai informasi tentang keberadaan aliran memang cukup santer, terutama di jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.

Salah satu dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah, sempat menanyakan kepada saya tentang keberadaan aliran tersebut via Twitter, saya pun agak bingung mencari tahu keberadaan mereka. Namun, saya pun melihat-melihat aliran apa saja yang sempat “mangkal” di Aceh beberapa tahun belakangan ini lewat berita-berita di internet, lalu yang ada hanya ada aliran Millah Abraham (MA) yang sempat berada di daerah Peusangan, Kabupaten Bireuen.

Setelah menelusuri lebih lanjut, MA ini pun sudah berhasil dibubarkan oleh masyarakat dan perangkat desa serta kepolisian setempat dengan tertib. Kejadian ini pun melanda di Bireuen sudah beberapa bulan yang lalu, tepatnya sekitar bulan Oktober 2010.

Lalu menyangkut dengan kota Banda Aceh, saya tidak berani menyimpulkan bahwa MA telah ada di Banda Aceh. Karena mereka lazim bersosialisasi dalam bentuk komunitas bahkan lewat jejaring sosial yang banyak digandrungi anak muda/i sekarang, selain itu tempat-tempat publik, seperti warung kopi atau cafe yang banyak di Banda Aceh juga jadi sasaran prioritas.

Setelah melihat dan membaca berbagai berita yang dilansir oleh media nasional, akhirnya terbongkar sudah bahwa aliran ini hanya mengerjakan shalat satu waktu, begitulah informasi yang masuk ke Pemkot Banda Aceh. Tidak hanya itu, mereka yang mengaku alirannya ini benar menurut konteks mereka, melakukan ritual penyucian mesjid yang dimasuki oleh orang yang bukan bagian dari pengikut mereka. Bahkan, kabar burung di Twitter (kicau burung) sempat ada pembaptisan untuk anggota baru. Wallahu’alam

Syukurnya untuk masalah pendangkalan akidah di Banda Aceh ini telah mendapat dukungan dari berbagi kalangan selain Pemkot dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), juga hadir dari kelompok mahasiswa serta DPR Aceh yang membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menelusuri keberadaan aliran ini lebih lanjut. (Waspada, 8 Maret 2011)

Setelah pembentukan Pansus oleh DPR Aceh, akhirnya terbongkar sudah praktik pendangkalan akidah tersebut yang dilaporkan oleh berbagai sumber yang masuk ke Pemkot dan MPU ini bernama aliran Mukmin Mubaligh (MM). Sempat juga disinyalir pimpinan MA tersebut bernama Zainuddin yang sudah merekrut ratusan siswa/i SMA serta mahasiswa di sejumlah fakultas di kampus Unsyiah.

Ciri-ciri Aliran Mukmin Mubaligh
Dari berbagai sumber yang saya dapat, beberapa keanehan bisa ditemukan dengan pengikut aliran ini. Salah satunya mereka (pengikut MA, red) yang masih mempunyai orang tua akan berlaku tidak wajar saat disuruh beribadah di rumah, dalam hal ini shalat dan lebih banyak memilih bungkam untuk berbicara.

Jangan heran jika penampilan yang menonjol dari da’i (istilah untuk mereka yang merekrut korban) tidak seperti orang-orang da’i lainnya, mereka tidak bersarung seperti santri, apalagi berkain sarung atau sorban seperti tengku-tengku pengajian apalagi berjenggot lebat seperti pada da’i umumnya.

Mereka berpakaian rapi, berpenampilan necis (mungkin lebih sering disebut gaul), memang layaknya anak muda jaman sekarang, baju kaos atau bercelana jeans dengan setelan lengkap. Ini dilakukan semata-mata agar mereka bisa masuk ke tempat-tempat publik, baik dikalangan mahasiswa atau tempat umum lainnya.

Para da’i dari MM ini memang begitu fasih membaca Al-Qur’an, lalu melakukan penafsiran ayat-ayat secara nyeleneh. MM juga melakukan shalat sehari sekali, dan dilakukan pada malam hari tanpa harus wudhu terlebih dahulu. Urusan puasa Ramadhan bagi mereka juga tidak wajib, dan hanya berpuasa sesuai dengan mood saja (tidak perlu menahan lapar dan haus).

Salah satu kasus aliran MM ini pernah terjadi di Desa Modo, Lamongan, Surabaya, dan Trenggalek pada Desember 2006 yang silam. Salah satu da’i mereka yakni Rusdianto, pemuda yang berusia 27 tahun yang sanggup menghimpun 150 pengikut dengan “kecerdikannya”. Padahal untuk berdakwah sendiri, Rusdi tidak punya tempat khusus atau tetap, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Mengapa sasarannya muda/i? siapa yang tidak kepincut dengan iming-iming shalat lima waktu menjadi satu waktu dan bahkan untuk urusan berpuasa bisa seenak hati.

Hasil pengakuan Rusdi setelah dibekuk polisi Lamongan, kader-kader yang direkrutnya berumur dari 15 – 25 tahun. Alasannya mudah didekati dengan iming-iming kewajiban shalat yang bisa satu waktu tadi. (Waspada Aliran Sesat, selamatkanbangsa.blogspot.com)

Pencegahan Untuk Muda/i
Jika “musibah” seperti ini sudah mulai menampakkan belang, bukan tidak mungkin tanpa kewaspadaan yang hati-hati pada masing-masing diri bisa menjadi korban berikutnya. Untuk pencegahan sendiri memang tidak mungkin mengandalkan orang lain, yang paling utama adalah orang dekat, orang tua atau keluarga misalnya yang menjadi acuan utama mengawasi setiap gerak-gerik anaknya.

Bagaimana dengan siswa/mahasiswa pendatang ke Banda Aceh? tentu ini hal yang lumayan rumit. Apalagi jika mereka adalah penghuni kost-kostan, tentu disini peran lingkungan yang sehat, masyarakat dan rekan-rekannya.

Namun, ada beberapa poin penting untuk mencegah aliran ini bisa tembus ke setiap muda/i, yakni pendekatan agama ke tempat-tempat pengajian secara rutin, balai-balai/dayah, dan tempat lainnya yang memang bisa dipercaya. Karena saya yakin, sebesar itu Banda Aceh dan Aceh Besar masih begitu banyak tempat-tempat untuk mencari ilmu agama yang masih bersih dan berada dalam koridor Syariat Islam.

Kurangi untuk keluar malam-malam yang tidak perlu, hindari kesendirian ditempat publik, perbanyaklah berzikir, ingat Allah, kurangi bentuk hura-hura yang tidak bermanfaat. Datangilah tempat-tempat pengajian seminggu sekali minimal, jika melihat ketidaksesuaian gerak-gerik teman atau kerabat segera beritahu orang yang dipercayai, semisal orang tua, tengku-tengku, ustadz.

Apalagi untuk mereka siswa/i yang masih ABG, dengan kondisi yang sering labil atau ababil istilahnya , jangan terperangkap dengan ajakan-ajakan yang tidak sebagaimana mestinya atau tidak biasanya, apalagi harus ke suatu tempat yang asing. Baik setelah pulang sekolah atau saat ada les di luar rumah.

Karena kita tahu, aliran MM ini memang mencari korban umur-umur muda. Jadi, tidak menutup kemungkin semuanya bisa terperangkat jejak-jejak mereka.

Sekian dulu postingan kali ini, kalau orang Aceh bilang, “nyoe haba peuingat, kon cuma peuingat gob, tapi nyang pasti dilee peuingat droe keu droe, menyoe get neucok, nyang salah neu peubeutoi, leubeh kureueng bak Po Tallah lon lake Ampon”. Wallahu’alam bishawab.

Cut Nyak Dhien: Super Women dari Serambi Mekkah

Add caption

JAM sudah menunjukkan pukul 10 pagi, keadaan cuaca di hari kamis (15/7) itu pun sangat cerah. Saya bersama seorang teman yang kebetulan sedang berada di Jakarta ingin sekali melakukan perjalananan ziarahnya ke makam pahlawan wanita Aceh Cut Nyak Dhien.

Sumedang, itulah kota kecil di Jawa Barat yang merupakan tempat dimana Cut Nyak Dhien melabuhkan pengistirahatan terakhirnya pada tanggal 6 Nopember 1908.

Hari itu pula saya beserta rekan seperjuangan saat waktu SMA dulu melakukan perjalanan menuju ke Sumedang.

Dari Depok ke Sumedang membutuhkan waktu setengah hari, walaupun terbilang masih awam dengan lokasi yang akan dikunjungi karena tidak ada peta atau guide yang bisa mendampingi perjalanan kami, akhirnya bisa tercapai juga dengan modal nekat plus bertanya-tanya agar tidak sesat di jalan.

Sambung menyambung dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain, Leuwipanjang, lalu ke Cicaheum dan terakhir berlabuh di perempatan kota kecil Sumedang (tarahu-tarahu kang). Memang sungguh melelahkan, tapi dibalik itu semua rindu hati untuk berziarah ke makam sang pahlawan terobati sudah.

***

Kaki pun melangkah dari jalan yang sempit di tengah kota kecil Sumedang, terlihat disebuah papan yang lusuh tertuliskan “Makam Cut Nyak Dhien 100 meter”, lalu kami pun tambah bertanya lagi mengikuti arah jalan tersebut.

Saut-sautan azan magrib di kota yang terkenal dengan makanan cemilan tahu ini ternyata menyambut kedatangan kami berdua.

Tanpa berlama-lama, langkah kaki pun kami percepat. Karena suara azan yang terdengar makin dekat searah kami berjalan. Setelah sampai di komplek makam, kami pun memastikan kalau disitu adalah tempat yang kami tuju dan si akang tukang somay pun mengamininya sambil menunjukkan arah makam ke belakang bukit.

Menaiki beberapa puluh anak tangga, dan disana berkumpul para ibu-ibu paruh baya yang sedang duduk sambil bersantai ria dengan teman-teman sejawatnya, sapa dan salam pun hormat pun tentunya tidak lupa kami berikan kepada ahlal kubur (penghuni kubur).

Dari tempat berkumpulnya ibu-ibu di atas bukit itu, mereka menunjukkan arah kepada kami makam Cut Nyak Dhien yang berada tepat di bawah bukit. Suasana di komplek makam semakin gelap, suara takbir dari berbagai mushalla dan mesjid terus mengumandang.

Langsung kami bergegas menuju ke bawah bukit, dan disana yang kami temui hanya pintu gapura yang tertulis jelas makam Cut Nyak Dhien. Tapi sayang pintu masuk ke makam sudah terkunci, karena kami tahu bahwa jam kunjung sudah habis sepertinya.

Namun, keberuntungan tidak hilang begitu saja. Seorang wanita paruh baya ternyata menghampiri kami dan menanyakan tujuan kedatangan kami. Lalu kami ceritakan secara singkat, dan wanita itu akhirnya menawarkan untuk mencari si bapak yang memegang kunci walaupun malam langit malam sudah mulai hitam pekat.

Tidak lama menunggu sekitar 10 menit, lalu datanglah seorang bapak dengan peci putihnya lalu memanggil kami untuk masuk lewat pintu samping, si bapak itu bernama Bapak Ace (begitulah panggilannya menurut keterangan istrinya Bu Kokom).

Sambutan khas dengan logat sundanya memang kerasa dari omongan Pak Ace, lalu kami pun bergegas ke toilet sekalian untuk berwudhu menunaikan shalat magrib. Tepat di dalam komplek makam Cut Nyak Dhien terdapat sebuah meunasah (tempat shalat dalam bahasa Aceh) yang dikhususnya bagi penziarah untuk beribadah.

Kurang Perhatian
Setelah menunaikan shalat magrib, saya pun tidak ingat kalau ternyata malam itu tepat jatuhnya malam jum’at kliwon, panteslah banyak orang yang berkunjung ke atas bukit (karena terdapat makam keramat).

Lekas, saya pun tahu akhirnya karena melihat kawan sedang yasinan dan karena berhubung berada di tengah-tengah kawanan kuburan saya pun melepaskan beberapa do’a untuk semua ahlal kubur.

Setelah prosesi berdo’a dan yasinan pun selesai, saatnya kami untuk mengabadikan beberapa gambar dekat makam, keadaan malam yang semakin gelap memberikan suasana yang begitu tenang. Di temani oleh bu Kokom, beliau pun hanya duduk sambil sesekali menjawab pertanyaan dari kami.

Walaupun bu Kokom bukan seorangkuncen di komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang jaman dulu. Orang Sumedang, dulunya mengenal Cut Nyak Dhien dengan sebuah sapaan Parbu atau Ratu.


Kotak amal biru yang selalu berada disisi makam Cut Nyak Dhien/Foto: Dok. Pribadi.

Menurut keterangan bu Kokom, ikhwal harumnya pusara Cut Nyak Dhien pada setiap pagi memang betul adanya. Dan itulah yang selalu bu Kokom rasakan ketika membersihkan makam saban hari dari debu dan sebagainya.

Kalau pun Anda sering menyimak atau membaca berbagai tulisan tentang Cut Nyak Dhien setelah diasingkan oleh Belanda ke Sumedang, memang sangat terlihat batin Cut Nyak Dhien sangat berat untuk meninggalkan Aceh. Dalam benaknya masih terbayang perjuangan suami pertamanya Teuku Ibrahim Lamnga serta suami keduanya Teuku Umar.


Cut Nyak Dhien dan para pengikutnya/Foto: ridiah.wordpress.com

Setelah sempat mengalami kebutaan di usianya yang semakin tua, Cut Nyak Dhien akhirnya bisa sembuh lagi berkat pertolongan dari seorang dokter dari Belanda untuk menyembuhkan sakit beratnya. Tapi, semangat Cut Nyak Dhien untuk memerangi kaphe Belanda tidak pernah padam. Takutnya Belanda dengan semangat perlawanan akan muncul kembali pada pengikutnya, akhirnya dibuanglah ke Sumedang, Jawa Barat.

Karena umur dan kondisi tubuh yang serba melemah, Cut Nyak Dhien hanya bisa berdo’a dan tidak lepas memohon kepada Allah agar Aceh terhindar dari penjajah kaphe Belanda.

Cerita biografi Cut Nyak Dhien pernah diangkat oleh M.H. Szekely Lulofs dalam sebuah buku “Cut Nyak Dien: Kisah Ratu Perang Aceh“.


Sepotong ayat suci Al-Quran, surat At-Taubah ayat 111 menghiasi dibagian makam/Foto: Dok. Pribadi

Namun, dari sederet kisah yang sudah saya paparkan (lebih banyaknya bisa di dapat di AcehPedia.org). Ternyata ada sebuah keluh kesah yang sempat disampaikan oleh bu Kokom, bahwa Pemerintah Aceh setelah dipugarnya makam tersebut sekitar tahun 1987 oleh Gubernur Aceh pada masa itu Ibrahim Hasan, sampai saat ini tidak ada sepeser pun yang mereka terima untuk mengurusi makam tersebut dari hari ke hari (jelas ini menjadi bentuk keprihatinan dari Pemerintah Aceh terhadap situs sejarah Pahlawannya di tanah Jawa Barat).

Sementara, yang masih menjadi juru kunci hampir lebih dari 30 tahun di makam Cut Nyak Dhien ini masih dipercayai kepada Pak Nana (keterangan dari bu Kokom), yang merupakan masih bagian dan keturunan erat dari pemilik tanah makam tersebut yakni keluarga H. Sanusi.

sejarah singkat aceh

Bangsa Aceh termasuk ke dalam lingkungan rumpun bangsa Melayu. Yaitu bangsa-bangsa: Mante (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang dari Tanah Semenanjung Melaka. Ke semua bangsa ini menurut ethnology, ada hubungannya dengan bangsa Phonesia di Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga.

Satu keterangan lain menerangkan tentang bangsa Mante yang tersebut di atas, terutama penduduk Aceh Besar. Menurut cerita orang-orang tua (mythe), tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bansa Mante inilah yang berkembang biak ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.

Adapun lembah Aceh Besar itu (Aceh tiga segi) tatkala itu lautnya (pantai lautnya) Indrapuri dan Tanoh Abee (tanah pasir halus) tempat kediaman orang Hindu. Jadi, Blang Bintang, Ulee Kareng, Lambaro, Lam Ateuk, Lamnyong, Tungkop, Lam Nga, Tibang dan lain-lain masih merupakan laut besar. Dan menurut mythe tadi, kalau orang mau naik kapal berlayar naik haji (pilgrim) pelabuhannya di Aneuk Gle. Montasik, ialah perigi tempat pelaut-pelaut singgah mengambil air. Jadi letaknya kampung Montasik sekarang adalah di tepi laut, sedangkan kampung Ateuk yang berasal dari kata “Gateuek” sebangsa ketam tanah yang hidup di air asin (paya) yang berdekatan dengan laut.

SEBELUM DINASTI USMANIYAH DI TURKI BERDIRI, KERAJAAN ISLAM SAMUDERA PASAI DI ACEH TELAH BERDIRI

Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Mara Silu yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik ul Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik ul Zahir, cucu Malik ul Saleh.

KETIKA SRIWIJAYA-PALEMBANG-BUDDHA LEMAH, MUNCUL SAMUDERA PASAI ACEH ISLAM

Kedaulatan kerajaan Sriwijaya (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra dengan rajanya yang pertama Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang Sumatera Selatan makin kuat dan daerahnya makin luas, setelah daerah dan kerajaan Melayu, Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan daerah Jawa Barat didudukinya Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kekuatannya, ternyata mengundang raja Rajendrachola dari Cholamandala di India selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya. Ternyata dinasti Syailendra ini tidak mampu menahan serangan tentara Hindu India selatan ini, raja Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan, tetapi tetap kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini lemah, muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik ul Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik ul Zahir.

POLITIK SAMUDERA-PASAI-ISLAM BERTENTANGAN DENGAN POLITIK GAJAH MADA-MAJAPAHIT-SYIWA-PALAPA

Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja Jayanegara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit yang diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan “dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit”. Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera-Pasai-Islam di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit menggempur Samudera-Pasai dan mendudukinya. 27 tahun kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara buddha yang berpusat di Palembang ini.

GILIRAN MAJAPAHIT-HINDU DIGEMPUR DEMAK-ISLAM

Ketika raja Hayam Wuruk dari Majapahit meninggal tahun 1389, digantikan oleh putrinya Kusumawardani dan suaminya. Ternyata pada masa ini timbul perang saudara antara Kusumawardani dengan Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari selirnya). Dalam perang saudara yang dikenal dengan nama Paregreg (1401-1406) Wirabhumi bisa dikalahkan.

Akibat dari perang saudara ini Majapahit menjadi lemah dan mundur dan titik lemahnya adalah ketika Girindrawardana memegang tapuk pimpinan Majapahit dan pada tahun 1525 digempur oleh Kerajaan Islam Demak yang dibangun oleh Raden Patah yang tertarik dan belajar Islam di Sunan Ngampel, yang juga sebenarnya Raden Patah ini masih keturunan raja Majapahit yaitu Brawijaya.

ACEH LAWAN PORTUGIS

Ketika kerajaan Islam Samudera-Pasai lemah setelah mendapat pukulan Majapahit dibawah Gajah Mada-nya, maka Kerajaan Islam Malaka yang muncul dibawah Paramisora (Paramesywara) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.

Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mukayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya oleh Sultan-sultan Aceh ini.

Selama periode akhir abad 17 sampai awal abad 19 keadaan Aceh tenang.

SEBAB TIMBUL PERANG ACEH LAWAN BELANDA

Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

PERANG ACEH DARI TAHUN 1873 SAMPAI TAHUN 1904

Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Perang pertama yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Kohler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Kohler sendiri tewas pada tanggal 10 April 1873.

Perang kedua, dibawah Jenderal Van Swieten berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi’sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.

Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya’ Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.

SIASAT SNOUCK HURGRONYE

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga akhli Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Dimana isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah, Supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan. Menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronye diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya.

TAKTIK PERANG GERILYA ACEH DITIRU VAN HEUTZ

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsuse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo’ Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan. Taktik terakhir menangkap Cut Nya’ Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya’ Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur.

SURAT PERJANJIAN PENDEK TANDA MENYERAH CIPTAAN VAN HEUTZ

Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. (RH Saragih, J Sirait, M Simamora, Sejarah Nasional, 1987)
Asal Nama Negeri Aceh

Sesudah ± tahun 400 Masehi, Sumatera Utara dinamai orang Arab: Rami (Ramni=Kampung Pandee sekarang), oleh orang Tionghoa: Lan-li, Lan-wu-li, Nan-wu-li dan Nan-poli. Yang sebenarnya sebutan Atjeh Lam Muri, oleh sejarah Melayu: Lambri (lamiri) dan oleh Marcopolo Lambri. Sesudah kedatangan Portugis, nama Lambri tak tersebut lagi, melainkan Achem (Atjeh). Orang Portugis dan Italia biasanya mengatakan Achem, Achen, Acen dan orang Arab menyebutkan lagi Asyi, atau juga Dachem, Dagin, Dacin. Penulis-penulis Perancis mengatakan: Achem, Achen, Achin, Acheh. Orang Inggris menyebut: Atcheen, Acheen, Achin. Akhirnya orang Belanda menyebutkan: Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan akhirnya Atjeh. Orang Aceh sendiri mengatakan “Atjeh”, begitu pula nama daerah ini tersebut di dalam tarich Melayu, undang-undang Melayu, di dalam surat-surat Atjeh lama (sarakata) dan pada mata-mata uang Atjeh, emas (derham), uang timah (keuĂ«h) Atjeh dan sebagainya disebut Atjeh. Tentang asal nama ini belum ada keterangan yang jelas.

Di dalam tarich Kedah (Marong Mahawangsa) dari ± tahun 1220 M/ 517 H. Aceh sudah tersebut sebagai satu negeri di pesisir Pulau Pertja (Sumatera). Orang Portugis Barbosa (1516 M/922 H) yaitu orang Eropa yang datang menyebut: Achem dan lagi buku-buku sejarah Tionghoa (1618 M) yang mengenai Aceh mengatakan A-tse. Bentuk yang lebih tua lagi ialah Tadji atau Tashi, yang bagi orang Tionghoa berarti segala negeri Islam: atau pun sebutan kepada negeri Pasai. Pa menjadi Ta.

ACEH TIDAK TERMASUK ANGGOTA NEGARA-NEGARA BAGIAN RIS

41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).

Dimana ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari:
Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville
Negara Indonesia Timur
Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
Negara Jawa Timur
Negara Madura
Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
Negara Sumatra Selatan
Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.

Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.

PENGAKUAN BELANDA KEPADA KEDAULATAN RIS TANPA ACEH

Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)KEMBALI KE NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).

Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama. Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)

MAKLUMAT NII ACEH OLEH DAUD BEUREUEH

3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.

Isi Maklumat NII di Aceh adalah:

Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.

Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:
Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.

Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953

DESEMBER 1962 DAUD BEUREUEH MENYERAH KEPADA PENGUASA DAULAH PANCASILA

Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)

HASAN DI TIRO MENDEKLARASIKAN NEGARA ACEH SUMATERA 4 DESEMBER 1976

14 tahun kemudian setelah Daud Beureue menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila, Hasan Muhammad di Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Dimana bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra yang saya kutif dari buku “The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro” (National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984) yang menyangkut ” Declaration of Independence of Acheh Sumatra” (hal: 15-17) adalah “To the people of the world: We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java….In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman, National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh, Sumatra, December 4, 1976″. (“Kepada rakyat di seluruh dunia: Kami, rakyat Aceh, Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami, dengan ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa….Atas nama rakyat Aceh, Sumatra yang berdaulat. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra, 4 Desember 1976″) (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra,1984, hal : 15, 17).