Label

Minggu, 09 Januari 2011

CUT NYAK DHIEN

Cut Nyak Dhien (Lampadang, 1848 – 6 November 1908, Sumedang, Jawa Barat; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi sementara suaminya, Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.


Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880 yang menyebabkan meningkatnya moral pasukan perlawanan aceh. Nantinya mereka memiliki anak yang bernama Cut Gambang.Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda, namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakut encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, disana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh, namun, ia menambah semangat perlawanan rakyat Aceh serta masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap, sehingga ia dipindah ke Sumedang, dan ia meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

Kehidupan awal

Latar belakang keluarga

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Masa kecil

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.Sewaktu kecil, ia memperoleh pendidikan pada bidang agama yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama, rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari) yang dididik baik oleh orang tuanya. Dan juga, banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Sehingga pada usia 12 tahun, dia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Perlawanan saat Perang Aceh

Belanda menyerang Aceh

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citdadel van Antwerpen. Sehingga meletuslah Perang Aceh. Perang pertama (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:“Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?"
Saat itu, Kesultanan Aceh dapat memenangi perang ini. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Kohler tewas tertembak pada April 1873.
Pendudukan VI Mukim

Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Kematian Ibrahim Lamnga

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Pernikahan dengan Teuku Umar

Setelah itu, Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, namun, karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kapke Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang bernama Cut Gambang.

Rencana Teuku Umar

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda untuk menipu orang Belanda, sehingga saat mereka keluar dari hutan mereka berkata:“ Mereka menyadari mereka telah melakukan hal yang salah, sehingga mereka ingin membayar kembali kepada Belanda dengan menolong mereka menghancurkan perlawanan Aceh”


Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komander unit pasukan Belanda dan kekuasaan penuh. Ia menyimpan rencana ini sebagai rahasia, walaupun dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh, bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda, namun, ia masih terus berhubungan dengan Belanda. Teuku Umar mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai menjadi unit Belanda yang merupakan gerilyawan Aceh. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar).

Reaksi Belanda

Teuku Umar yang menghianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan meluncurkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan terbaik dari Belanda dan mengembalikan identitasnya menjadi pasukan gerilyawan dan menyerang Belanda ketika jendral Van Swieten diganti, dipermalukan dan dihina. Penggantinya, jendral Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan pada pertama kalinya.Selain itu, Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.


Pembantaian Jendral Van Der Heyden

Dien dan Umar menekan Belanda dan menduduki Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar) dan Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.Pasukan gerilyawan kuat yang dilatih dan dibuat dan memimpil hal ini sukses. Sejarah yang mengerikan bagi orang Belanda terus terjadi, tetapi, jendral Van Der Heyden ditugaskan dan tidak pernah dilupakan oleh orang Aceh. Pembantaian yang berdarah dilakukan terhadap laki-laki, wanita dan anak-anak pada desa, ketika jendral Van Der Heyden masuk kedalam unit "De Marsose". Mereka dianggap biadab oleh orang Aceh dan sangat sulit ditaklukan, selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya, termasuk rumah dan orang-orang.Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van Der Heyden membubarkan unit "De Marsose".Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan Jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan amsih tetap ada pada populasi Aceh.

Kematian Teuku Umar

Jendral Van Heutz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, dan akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Hal ini diketahui karena diinformasikan oleh informan yang bernama Teuku Leubeh.Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien mendengar kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan Dien berkata:“ Sebagai wanita Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah "Shaheed" ”


Bertempur bersama pasukan kecil

Akibat kematian suaminya, Cut Nyak Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 dan berisi laki-laki dan wanita karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh, selain itu, Cut Nyak Dien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya, termasuk salah satu pasukannya bernama Pang Laot Ali yang melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien pada Belanda karena iba, selain itu, agar Belanda mau memberinya perawatan medis dan membawa Belanda ke markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.

Ditangkap Belanda

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda sehingga Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian, dan Pang Karim, pasukannya berkata akan menjadi orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya.Akibat Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, ia tertangkap dan ia mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh, namun aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda. Ia ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia dipindah ke Sumedang berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12). Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan ia terus melanjutkan perlawanan yang sudah dilakukan ayah dan ibunya

Masa tua

Setelah ia ditangkap, ia dibawa ke Banda Aceh dan dirawat disitu. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Belanda takut bahwa kehadirannya akan membuat semangat perlawanan, selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk, akhirnya Belanda kesal, lalu ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

Dibuang di Sumedang

Ia dibawa Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lainnya dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja, selain itu, tahanan laki-laki juga mendemonstrasikan perhatian pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Sampai kematiannya, masyarakat Sumedang tidak tahu siapa Cut Nyak Dhien yang mereka sebut "Ibu Perbu" (Ratu).[6] Selama ia ditahan, ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien yang tidak dapat bicara bahasanya merupakan sarjana Islam, sehingga ia disebut Ibu Perbu.[1] Ia mengajar Al-Quran di Sumedang sampai kematiannya pada tanggal 8 November 1908. Ketika masyarakat Sumedang sudah beralih generasi dan gelar Ibu Perbu telah hilang, pada tahun 1960-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda, diketahui bahwa perempuan tersebut merupakan pahlawan dari Aceh yang diasingkan berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12).

Kematian

Setelah ia dipindah ke Sumedang, pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Pada tahun 1960, orang lokal Sumedang yang mencari tahu kembali siapakah "Ibu Perbu", telah meninggal, namun, informasi datang dari surat resmi pemerintah Belanda pada "Nederland Indische", ditulis oleh Kolonial Verslag, bahwa "Ibu Perbu", pemimpin pemberontakan provinsi Aceh telah dibuang di Sumedang, Jawa Barat. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh yang dikirim ke Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhien, "Ratu Jihad" dan diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Makam Cut Nyak Dhien

Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan, dan pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran, selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani Ibrahim Hasan, Gubernur Daerah Istimewa Aceh di Sumedang tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beson dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama besar dari Sumedang yang pernah dibuang ke Ambon yang bernama H. Sanusi, dan juga keluarga H. Sanusi merupakan pemilik tanah kompleks makam Cut Nyak Dhien.

Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surat At Taubah dan Al Fajar serta hikayat cerita Aceh.

Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia sehingga mengurangi jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien, selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat, bahkan tidak ada yang tahu letak makam Cut Nyak Dhien berada di Gunung Puyuh.

Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.

Teuku Umar (1854-1899)

t-umarPribadi yang Cerdas, pemberani &

pantang menyerah

Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran sangat besar terhadap perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini, banyak muncul pahlawan-pahlawan nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk rakyat Aceh saja tapi juga untuk rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899.
Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Meulaboh.
Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas , dan pemberani.
Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya (Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun). Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng.
Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) perang kembali pecah di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legiun pasukan sendiri  yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.
Ketika bergabung dengan Belanda, Teuku Umar pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh, namun hal tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura/ bersandiwara untuk mengelabuhi Belanda agar Teuku Umar diberi peran yang lebih besar oleh Belanda. ternyata taktik tersebut berhasil, sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.
foto-teuku-umarPada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar mengajak rakyat Aceh untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda. Gubernur Deykerhorf sangat marah atas tindakan yang dilakukan Teuku Umar dan memerintahkan Van Heutsz agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.
Atas pengabdian dan perjuangan serta semangat juang rela berkorban melawan penjajah Belanda, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.

Asal Usul Tuanku Imam Bonjol

Asal Usul Tuanku Imam Bonjol dan Gerakan Paderi atau Perang Paderi (1803-1838), di Minangkabau



Bermula dari kontroversi Buku Tuanku Rao.
Senin, 22/09/2008 11:02 WIB
Tuanku Rao
Pengarang: Mangaradja Onggang Parlindungan
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Juni 2007
Ukuran: 691 halaman


Sinopsis:
Buku ini melihat Gerakan Paderi dengan sudut pandang etnis Batak. Berbeda dengan umumnya sejarah Paderi yang menggunakan sudut pandang etnis Minang. Gerakan Paderi (1803-1837) selaku cabang Gerakan Wahabi di Arab, merupakan gerakan radikalisme Hambali Zealots, begitu keyakinan Mangaradja Onggang Parlindungan.

Gerakan perang Paderi dilatarbelakangi perintah langsung Abdullah Ibn Saud Raja Arab Saudi kepada tiga tawanan perang bersuku bangsa Minangkabau Kolonel Haji Piobang, Mayor Haji Sumanik dan Haji Miskin. Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekkah dari tangan Turki, 1802. Para pecundang tidak dihukum mati boleh lepas bebas. Kompensasinya, mereka harus membuka cabang Gerakan Wahabi sesampai di kampung halaman.
Pembentukan pasukan Wahabi Minangkabau dipercayakan pada Kolonel Haji Piobang. Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja Abdullah Ibn Saud, cikal bakal pasukan Paderi. Kelak jadi army group Tuanku Rao yang melakukan ekspansi di tanah Batak.

Dengan meriam, pasukan Paderi mampu menembus dan mengobrak abrik isolasi alam Tapanuli yang terlindung pegunungan Bukit Barisan dan lembah Danau Toba. Di bawah pimpinan Pongkinangolngolan pasukan Paderi memancung kepala Singamangaradja X dalam penyerbuan ke Bakkara, ibukota Dinasti Singamangaradja tahun 1819.

Pongkinangolngolan merupakan anak hasil perkawinan sumbang (incest) Putri Gana Sinambela dengan pamannya Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana Sinambela sendiri kakak dari Singamangaradja X. Pongkinangilngolan seperti dituturkan Onggan Parlindungan dibuang karena dianggap anak haram jadah dan sumber aib keluarga.

Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau dan bekerja pada Datuk Bandaharao Ganggo. Pada waktu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik tiga tokoh pembaharuan abad ke-19 baru kembali dari Mekah, mereka mempersiapkan tentara untuk ekspansi gerakan Mashab Hambali ke Mandailing mendapat dukungan Tuanku Nan Renceh karib Datu Bandaharao. Renceh terkesima dengan mengetahui nasib dan silsilah Pongkinangolngloan. Pongkinangolngolan rupanya sangat baik digunakan dalam rangka merebut dan menduduki tanah Batak. Oleh Tuanku Nan Renceh, Pongkinangolngolan diberi nama Panglima Umar bin Khatab. Sebagai perwira Paderi, Pongkinangolngolan diangkat dengan gelar Tuanku Rao. (musfi)

http://www.padang-today.com/index.php?today=library&j=2&id=47

Sanak, kesalahan terbesar dari buku ini adalah penulis tidak mengetahui sejarah Batak dengan benar. Pongki Nangolngolan sebenarnya adalah menantu dari Tuanku Rao.

Wassalam,
-datuk endang


Syafruddin AL dari Bogor :
Beberapa waktu lampau ambo pernah meminta info di milis ko tentang; Apakah benar ayah Tuanku Imam Bonjol berasal dari Pagaruyung? Alhamdulillah sampai babarapo lamo indak ado nan manjawek. Kalau pun ada Pak Antonius Syam, seorang penulis dan anak Bapak Datuak Lubuk Sati nan manjalehkan, tetapi jawabannya juga kurang tageh. Ia cuma bilang bahwa waktu terjadi suatu kerusuhan di Pagaruyung, ada seorang perempuan keluarga raja yang lari bersama putranya bernama Nurudin ke 50 Kota. Nurudin ini kemudian dikenal dengan Buya Nudin yang menikah dengan hamatun dan melahirkan anak bernama Peto Syarif alias Tuanku Imam Bonjol.

Ambo lah cubo pulo tanyo suok kida, termasuk dengan Pak Djufri Dt. Lubuk Sati sendiri (seorang penulis sejarah Minang) tentang siapa ayah Buya Nudin itu? Beliau mengaku belum menemukan ranjiinya. Apakah benar dia anak Muningsyah II atau baradiak kakak jo Sultan Babagarsyah, belum dapat disimpulkan.

Antonius (anak Pak Datuak Lubuak Sati) tidak menyebutkan siapa ayah Buya Nudin. Cuma dia pernah menyebutkan dalam sebuah "bukunya" tentang Syech Abdul Wahab bahwa Buya Nudin ini hilang begitu saja dari Minangkabau. Diperkirakan oleh Antonius, beliau menghilang di Selayo, Solok (benar atau tidak, ambo indak tahu). Info lain menyebutkan Buya Nudin ini menghilang sekitar tahun 1777.

Beberapa bulan lewek ambo juga pergi ke Sanrabone, Sulawesi Selatan untuk melihat pekuburan urang Minangkabau di daerah ini. Kami diantar langsung oleh Bupati Takalar ke sebuah kuburan dengan nama "Datuk Mahkota Minangkabau" dengan tahun 1589. Datuk Mahkota inilah yang dikisahkan sebagai ulama yang meng-Islamkan raja Goa. Tak jauh dari kuburan Datuk Mahkota, juga terdapat kuburan anak Datuk Mahkota bernama Nurudin. Nurudin inilah yang melanjutkan mengajarkan Islam di Sanrabone dan Goa.

Ambo hanya bisa mencocokkan angka tahun. Maksudnya begini: Kalau buya Nudin menghilang di Minangkabau atau yang jadi ayah Imam Bonjol, tentu dia lahir dan ada di Minangkabau sekitar tahun 1700-an, karena Imam Bonjol dewasa berperang di Minang pada tahun 1800-an. Sedang Nurudin yang di Sanrabone itu adalah anak Datuk Mahkota yang tercatat di makamnya tahun 1589 (keturunannya sekarang mengaku sebagai generasi ke 10 dan 11).

Kalaulah Buya Nudin yang hilang di Minangkabau sekitara akhir 1700-an, mestinya Nurudin yang ada di Sanrabone (kalau memang pelarian dari Minangkabau) tentu mereka mestinya ada di sana sekitar akhir tahun 1700-an pula, bukan tahun 1589 atau awal 1600-an.

Dalam fakta semetara yang ada sekarang, Nurudin yang merupakan anak Datuk Mahkota yang berkubur di Sanrabone hidup antara 1589 - 1600-an, berjarak 100 tahun lebih dulu dari Buya Nudin yang lahir di Minangkabau.

Menurut ambo, keduanya (Nudurudin di Sanrabone dengan ayahnya Datuk Mahkota) dan Buya Nudin di Minangkabau yang disebut-sebut punya talidarah ke Pagaruyung, adalah dua fakta sejarah yang memang perlu ditelusuri oleh ahlinya untuk mencari kebenaran, bukan untuk mengaburkan kebenaran.

Terima kasih, mohon maaf kalau ada yang kurang sreg dengan penjelasan ambo ko. Ini demi fakta sejarah masa lalu kita.

Wassalam

Syafruddin AL
45 tahun, tingga di Bogor


Arman Bahar menyebutkan :

Sewaktu Sutan Muning Syah II mangkat 1798, putra mahkota Rajo Alam Sutan Bagagar Syah masih berumur 9 tahun sehingga sang putra mahkota diperwalikan oleh paman beliau yang bergelar Muning Syah III hingga tahun 1803

Ketika itu Rajo Muning Syah III sedang menghadiri 40 hari wafatnya salah seorang kerabat raja di Koto Tangah Tanjuang Barulak, terjadi perselisihan kecil antara sesama kerabat dimana salah seorang diantaranya mengatakan bahwa acara ma-ampek puluah hari tersebut adalah tidak sesuai dengan Syariat tidak ada contohnya dari Rasulullah, perbedaan pendapat ini semakin memanas dan berkembang menjadi konflik pisik antara para dubalang dengan murid2 Tuanku Lintau dan selanjut dalam hitungan menit dengan cepat berkembang menjadi prahara yang ber-darah2 dan terbakarnya Istana Pagaruyuang

Putra Mahkota Yamtuan Sutan Bagagar Syah yang masih sangat belia itu bersama saudara perempuan-nya Yamtuan Puti Reno Haluih dan suaminya Yamtuan Sutan Sumbayang III yang menjabat sebagai Rajo Ibadat yang bermarkas di Sumpur Kudus di-ungsikan dimalam pekat itu ke Rantau Singingi (sekarang Kabupaten Kuantan Singingi Riau)

Sampai sekarang masih ada Istana Puti Tuanku Gadih di Kuantan Singingi bahkan sang Puti berkenan menurunkan ilmu silat kepada kaum hawa dilingkung istana yang sekarang kita kenal sebagai Silek Pangian

(Kalau berkenan silahkan ralat bahwa pengungsian tersebut bukan ke luhak 50 Koto)

Tuanku Imam Bonjol dilahir 1772 dan diberi nama Muhammad Shahab dari ibu yang bernama Hamatun yang orang Arab Hadramaut Yaman Selatan

Hamatun bersama saudara laki2nya As Sayid Usman sampai kedaerah Bonjol dalam rangka berda'wah dan berniaga

Karena Hamatun menikah dengan salah seorang kemenakan Datuak Tumangguang (suku Koto) maka oleh sang datuak sepasang suami istri yang baru menikah ini di-hibahkan sebidang tanah yang sekarang disebut Kampuang Koto di Bonjol, sedangkan Sayid Usman saudara Hamatun ditanah itu juga mendirikan surau / pesantren

Suami Hamatun (ayah Imam Bonjol) mendapat pendalaman agama Islam baik dari istri beliau sendiri maupun dari saudara istrinya Sayid Usman, adakah hubungan ayah Imam Bonjol dengan Istana Pagaruyuang dan siapakah namanya masih sedang di-sigi2

Yang jelas ketika Muhammad Shahab mengakhiri masa lajangnya dan dia harus diberi gelar, ketek banamo gadang bagala, ketek banamo Muhammad Shahab dek mamak urang Arab dan indak pulo berhak mewariskan gala mako dilakek-kan gala agamo "Tuanku Mudo Petho Syarif" yang kemudian sewaktu perang Padri digelarkan Tuanku nan di Bonjo

Tuanku Lareh nagari Bonjo nan banamo Na'ali Sutan Caniago menulis dalam bahasa Minangkabau beraksara Arab dalam catatan-nya disebutkan bahwa Tuanku Imam Bonjol wafat dan dikuburkan di Kampuang koto tanah kelahiran-nya sendiri, kitab naskah ini sekarang disimpan oleh Haji Qoharuddin dirumah kaum Caniago di Bonjol, foto kopinya pernah diserahkan oleh salah seorang kerabat Caniago yang bernama Zainul Anwar Jakarta kepada Dr. Priyono pakar sejarah yang juga pernah jadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1966-1975

Tuh,…kan, bingung mana yang benar versi Belanda yang mengatakan Imam Bonjol terakhir dibuang ke Palopo Manado dan wafat disana atau versi Tuanku Lareh

Wallahualam bissawab
Abp57

Sanak ABP yth.
Dari info sanak ado babarapo informasi baru nan dapek ditelusuri lebih lanjut, memang versinyo sangat berbeda. Memang disabuikkan TIB memiliki duo urang istri, nan di kampuang Bonjol itu basuku Chaniago. Kudian ukatu kejatuhan Bonjol, beliau mengungsi ka rimbo gadang yang kini manjadi ulayat suku Jambak.
Namun sabananyo ambo agak kurang sumangek menelaah masalah geneologis iko, karono dapek mengaburkan makna perjuangan Paderi itu sendiri.

Wassalam,
-datuk endang

Pak Arman,
Jadi, ini kitab yg lain daripada Naskah Tuanku Imam Bonjol yang raib itu?
Agak bingung saya.

Salam,
Suryadi


2008/11/4, arman bahar :
Assalamualaikum ww

Itulah yang juga banyak bikin kita binggung, terkadang tidak semua sumber Ulando benar apalagi kadang sarat dengan berbagai kepentingan entah itu kepentingan kolonial entah pula membonceng di situ kepentingan para zending protestan atau memang kacamata mereka berbeda yang memandang pribumi Melayu sebagai pembrontak sementara tulisan lain dari sudut perjuangan rakyat tertindas melawan penjajah

Sabana no TIB di samping memiliki perpustakaan lengkap yang didapat dari paman2nya (garis ibu) yang bolak balik ke jazera Arab beliau juga banyak menulis terutama tentang Tafsir, Hadist, Tasauf, Fekah, Nahu, Syaraf, Ma'ani dan Mantiq namun ketika Jihad Paderi semakin bergejolak kesempatan menulis menjadi sangat berkurang kecuali sedikit berupa catatan2 lepas tentang keseharian dan perjuangan beliau, catatan2 lepas inilah sebenarnya yang penting karena belum sempat disatukan posisi beliau dan pengikut2nya semakin terdesak sehingga naskah2 yang sebagian disimpan pembantu2nya hingga kini masih sulit dilacak

Semua kitab2 tersebut dan tulisan2 tangan TIB yang lebih lengkap masih disimpan oleh ahli waris beliau salah seorang di antaranya bernama Ahmad Marzuki di Pematang Siantar

wasalam
abp57


Singgalang, Senin, 20 Oktober 2008

Padang,
Leluhur Tuanku Imam Bonjol dari jalur nasab berhasil ditelusuri dengan menggunakan metode ranji ABS SBK dan dukungan Arsip Nasional.

Ayah pahlawan besar ini, Khatib Bayunuddin ternyata seorang bangsawan Kerajaan
Pagaruyung. Namun akibat konflik, ia bersama 40 orang pengiringnya, mengundurkan diri ke luar Minangkabau dan akhirnya mendarat di Sulawesi Selatan. Demikian antara lain catatan yang dapat ditarik dari diskusi pendalaman lebih lanjut dari latar belakang doktrin Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK) sebagai jati diri Minangkabau, di
Bagindo Aziz Chan, Padang, Sabtu (18/8).

Acara dilaksanakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Padang bekerjasama dengan Gebu Minang. Dalam acara pembukaan, selain Ketua Gebu Minang, Mayjen (Purn) Asril H. Tanjung S.Ip., juga memberikan sambutan tertulis Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi.

Dalam pertemuan ini dibedah dua buah buku, yaitu buku Christine Dobbin, edisi 2008, "Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1847, Komunitas Bambu, Jakarta, serta buku Drs. Sjafnir Aboe Nain, 2008, "Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau (1784-1832), Penerbit Esa, Padang.

Panelis terdiri dari Dr. Gusti Asnan, Dr. Erwiza Erman, MA., Drs. Sjafnir Aboe Nain, serta Drs. Zulqoyyim. Seluruh panelis menghargai pendekatan komprehensif yang digunakan Christine Dobbin, yang didukung data yang amat kaya, sehingga sangat bermanfaat dalam upaya memahami sejarah Minangkabau.

Dalam diskusi inilah kemudian diketahui, keturunan Tuanku Imam Bonjol dari jalur nasab, yang menghasilkan dua temuan, yaitu bahwa ayah Tuanku Imam Bonjol, Khatib Bayanuddin, ternyata adalah seorang bangsawan kerajaan Pagaruyung.

Peserta secara khusus memberikan perhatian pada penegasan Dobbin, Perang Paderi bukanlah merupakan perang antara kaum adat dengan para ulama, sebab pada kedua belah pihak terdapat baik kaum adat maupun para ulama.

Dari data yang ada dapat diambil kesimpulan substansi doktrin ABS SBK berasal dari Tuanku Imam Bonjol, setelah ia menyadari dan mendapat laporan dari empat orang utusan yang dikirim ke Tanah Suci bahwa kekerasan yang dilakukan kaum Paderi sebelum itu adalah merupakan suatu kesalahan dan harus diperbaiki.

Untuk mendalami keseluruhan aspek dari Gerakan Paderi ini, serta untuk menindaklanjuti doktrin ABS SBK, telah dibentuk dan diresmikan sebuah 'Lembaga Kajian Gerakan Paderi, 1803-1838'

Dalam acara ini juga telah diperkenalkan Ranji ABS SBK dengan mempergunakan software Family Tree Maker yang telah dibahas amat intensif di kalangan para perantau yang aktif di RantauNet, yang menggabungkan ranji adat berdasar sistem kekerabatan matrilineal dengan ranji berdasar ajaran nasab yang diajarkan agama Islam. Diketahui pula rombongan ayah Tuanku Imam Bonjol di Sulawesi Selatan kemudian beranak pinak. Orang Bugis mencatat dengan cermat peristiwa tersebut, dan menyampaikan keinginan agar tali darah antara orang Bugis dengan kerajaan Pagaruyung ini disegarkan kembali.

Keinginan tersebut ditampung dalam susunan kepengurusan Lembaga Kajian Gerakan Paderi 1803-838. Salah seorang cucu Tuanku Imam Bonjol, Hari Ichlas, seorang pengusaha, telah memperoleh kepastian hukum tentang hubungan darahnya menurut garis nasab dengan Tuanku Imam Bonjol, yang selain dikukuhkan dengan sebuah akta notaris juga didaftarkan pada pengadilan negeri dan pengadilan agama.

Sekadar catatan, terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara kesimpulan acara bedah buku Dobbin yang sama di Unimed Medan pada tanggal 14 Oktober 2008, yang pada umumnya mereduksi masalah Perang Paderi ini pada masalah ekonomi dan logistik belaka, dan cenderung menyebut Perang Paderi sebagai 'perang dagang' dan secara kategoris menyatakan bahwa Perang Paderi bukan 'perang agama'.

Kesimpulan dari acara bedah buku di Padang ini sangat berbeda, dengan memberikan perhatian pada keseluruhan aspek yang terkait dengan gerakan Paderi , baik aspek politik, ekonomi, sosial budaya, agama, dan militer, yang juga mengandung aspek-aspek baik yang dapat ditindaklanjuti melalui pengkajian yang lebih mendalam serta secara terus menerus.

Menurut Gusti Asnam "Buku karya Christin Dobbin ini menjadi ikon kajian tentang Islam di Minangkabau karena merupakan sebuah hasil studi yang mengkombinasikan sejarah ekonomi, sosial, politik, perang, dan agama, yang sangat relevan" kata Gusti.

Pada acara yang digelar di Gedung Bagindo Aziz Chan sejak pukul 09.00 WIB tersebut turut dilantik pengurus Lembaga Kajian Gerakan Paderi dan pembacaan hasil rumusan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Ketua Dewan Penasehat GEBU Minang dan Penggagas Lembaga Kajian Gerakan Paderi, Saafroedin Bahar, mengatakan Perang Paderi selama ini hanya identik dengan kekejaman. Padahal, menurutnya tanpa Perang Paderi mungkin saja saat ini masih banyak orang Minang yang melakukan tindakan menyimpang seperti sabung ayam.

Lembaga Kajian Gerakan Paderi adalah sebuah organisasi yang digagas salah satunya untuk menjernihkan pemahaman terhadap keseluruhan Gerakan Paderi, termasuk untuk mencegah timbulnya prasangka yang akan merugikan persatuan dan kesatuan bangsa.cr08

http://www.hariansinggalang.co.id/index.php?option=com_content&task=view
&id=3785&Itemid=1:testset

Asal Usul Tuanku Imam Bonjol
Sewaktu Sutan Muning Syah II mangkat 1798, putra mahkota Rajo Alam Sutan Bagagar Syah masih berumur 9 tahun sehingga sang putra mahkota diperwalikan oleh paman beliau yang bergelar Muning Syah III hingga tahun 1803

Ketika itu Rajo Muning Syah III sedang menghadiri 40 hari wafatnya salah seorang kerabat raja di Koto Tangah Tanjuang Barulak, terjadi perselisihan kecil antara sesama kerabat dimana salah seorang diantaranya mengatakan bahwa acara ma-ampek puluah hari tersebut adalah tidak sesuai dengan Syariat tidak ada contohnya dari Rasulullah, perbedaan pendapat ini semakin memanas dan berkembang menjadi konflik pisik antara para dubalang dengan murid2 Tuanku Lintau dan selanjut dalam hitungan menit dengan cepat berkembang menjadi prahara yang ber-darah2 dan terbakarnya Istana Pagaruyuang

Putra Mahkota Yamtuan Sutan Bagagar Syah yang masih sangat belia itu bersama saudara perempuan-nya Yamtuan Puti Reno Haluih dan suaminya Yamtuan Sutan Sumbayang III yang menjabat sebagai Rajo Ibadat yang bermarkas di Sumpur Kudus di-ungsikan dimalam pekat itu ke Rantau Singingi (sekarang Kabupaten Kuantan Singingi Riau)

Sampai sekarang masih ada Istana Puti Tuanku Gadih di Kuantan Singingi bahkan sang Puti berkenan menurunkan ilmu silat kepada kaum hawa dilingkung istana yang sekarang kita kenal sebagai Silek Pangian

(Kalau berkenan silahkan ralat bahwa pengungsian tersebut bukan ke luhak 50 Koto)

Tuanku Imam Bonjol dilahir 1772 dan diberi nama Muhammad Shahab dari ibu yang bernama Hamatun yang orang Arab Hadramaut Yaman Selatan

Hamatun bersama saudara laki2nya As Sayid Usman sampai kedaerah Bonjol dalam rangka berda'wah dan berniaga

Karena Hamatun menikah dengan salah seorang kemenakan Datuak Tumangguang (suku Koto) maka oleh sang datuak sepasang suami istri yang baru menikah ini di-hibahkan sebidang tanah yang sekarang disebut Kampuang Koto di Bonjol, sedangkan Sayid Usman saudara Hamatun ditanah itu juga mendirikan surau / pesantren

Suami Hamatun (ayah Imam Bonjol) mendapat pendalaman agama Islam baik dari istri beliau sendiri maupun dari saudara istrinya Sayid Usman, adakah hubungan ayah Imam Bonjol dengan Istana Pagaruyuang dan siapakah namanya masih sedang di-sigi2

Yang jelas ketika Muhammad Shahab mengakhiri masa lajangnya dan dia harus diberi gelar, ketek banamo gadang bagala, ketek banamo Muhammad Shahab dek mamak urang Arab dan indak pulo berhak mewariskan gala mako dilakek-kan gala agamo "Tuanku Mudo Petho Syarif" yang kemudian sewaktu perang Padri digelarkan Tuanku nan di Bonjo

Tuanku Lareh nagari Bonjo nan banamo Na'ali Sutan Caniago menulis dalam bahasa Minangkabau beraksara Arab dalam catatan-nya disebutkan bahwa Tuanku Imam Bonjol wafat dan dikuburkan di Kampuang koto tanah kelahiran-nya sendiri, kitab naskah ini sekarang disimpan oleh Haji Qoharuddin dirumah kaum Caniago di Bonjol, foto kopinya pernah diserahkan oleh salah seorang kerabat Caniago yang bernama Zainul Anwar Jakarta kepada Dr. Priyono pakar sejarah yang juga pernah jadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1966-1975

Tuh,…kan, bingung mana yang benar versi Belanda yang mengatakan Imam Bonjol terakhir dibuang ke Palopo Manado dan wafat disana atau versi Tuanku Lareh

Wallahualam bissawab

neil armstrong

Kisah Neil Amstrong Masuk Islam

Quantcast

copy-of-copy-of-neilarmstrongIni merupakan sebuah bukti kebenaran agama Islam, seorang astronot bernama Neil Armstrong telah menemukannya di bulan. Simaklah kisahnya dari awal sampai akhir.
———————————————————————-
Neil Armstrong adalah orang pertama yang mendarat di bulan. Neil pergi ke bulan menggunakan pesawat ruang angkasa USA bernama Apollo, bersama rekannya Buzz Aldrin. Pergi ke bulan merupakan hal yang amat menakjubkan bagi Neil. Saat-saat masa keberhasilannya itu, tak pernah ia lupakan.
Sampai akhrinya 30 Tahun berlalu,
Saat itu neil memutuskan untuk mengambil cuti kepada pihak NASA. Ia menghabiskan liburannya dengan berwisata ke Mesir. Ini kali pertama ia mengunjungi Kairo,atau pertama kalinya ia mengunjungi sebuah negeri Islam dalam rangka berwisata mencari hiburan dan mengembalikankesegaran setelah penat menghadapi rutinitas pekerjaan.
Beralih ke Mesir, akhirnya  neil bersama wisatawan lain sampailah ke sebuah hotel yang terletak di tengah kota Kairo. Setelah beres mengurus registrasi, dengan tertatih dia pergi menuju kamarnya untuk beristirahat setelah letih menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Amerika menuju Kairo. Dan ketika dia berbaring di ranjang, tiba-tiba terdengarlah kumandang adzan…
Allahuakbar….. Allahuakbar…..
Ketika mendengar seruan itu, ia berpikir bahwa ini bukan pertama kali ia mendengar seruan seperti ini. Neil berpikir keras dimana dia pernah mendengarnya sebelumnya? Neil terus berusaha mengingat, tetapi dia tetap tidakmampu menemukan jawabannya.
Kemudian ia duduk, berdiri dan berjalan menuju kamar kecil, kemudian pergi mengambil makanan fast food sebelum turun untuk makan malam di lantai dasar.
Di ruang makan ketika dia sedang mengunyah sisa makanannya sambil ngobrol bersama dua orang temannya, kembali terdengar kumandang adzan dari salah satu menara mesjid yang banyak tersebar di Kairo, ia pun lantas terdiam, mencoba menyimak & menghayati lantunan kalimat-kalimat adzan yang didengarnya.
Kemudian dia berseru memanggil salah seorang pelayan yang ada disana & bertanya dengan bahasa inggris, “apakah kamu bisa berbahasa inggris?”
Si pelayan menjawab, “bisa sedikit tuan.”
Neil tersenyum & berkata, “seruan apa yg barusan tadi terdengar?”
Pelayan tadi menjawab, “maaf saya tidak mengerti maksud tuan.”
Neil berisyarat mengumandangkan adzan dengan terbata terbata, “Allahu akbar… Allahu akbar.”
Pelayan kemudian berkata, “itu panggilan untuk sholat, panggilan kepada seluruh kaum muslimin untuk pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat yg dilakukan lima kali sehari.”
Neil pun mengucapkan terima kasih atas penjelasannya. Kemudian dia melanjutkan makan malamnya dengan duduk diam tanpa berkata apapun. Tiba-tiba ia bangkit dan meninggalkan teman-temannya lalu naik menuju kamarnya sambil berpikir, “pasti aku mendengarnya di salah satu film yg pernah aku tonton”. Sejenak dia berhenti berpikir, “ataupun mungkin di tempat lain?”.
“Ah tidak, bukan di film, aku mendengarnya dgn telingaku sendiri menggema di udara, tetapi dimana?” Sampai dia beranjak tidur pernyataan ini masih berputar di kepalanya. Ketika fajar menyingsing, Neil terbangun oleh suara adzan yang kembali berkumandang membelah angkasa :
Allahu akbar………Allahu Akbar………
Dia pun segera bangkit, duduk di tepi ranjang seraya mengerahkan segenap perhatiannya untuk mendengarkan suara itu, bersamaan dengan berakhirnya kumandang adzan, Neil teringat kembali bayangan tiga puluh tahun silam yang masa itu merupakan masa gemilang dalam hidupnya. Ketika itu dia mengendarai pesawat luar angkasa milik USA , Apollo, yg merupakan pesawat pertama dalam sejarah yg mampu mendarat di bulan. Tiba-tiba ia sadar bahwa “Ya, disanalah aku mendengar seruan ini untuk pertama kalinya dalam hidupku.” ungkapnya.
Kemudian dia berseru dalam bahasa inggris tanpa sadar, “Wahai Tuhan yang Maha Suci, Ya Tuhan, benar aku ingat bahwa disanalah, dipermukaan bulan itu aku dengar seruan itu untuk pertama kalinya dalam hidupku, dan disini, di Kairo, aku mendengarnya di bumi.”
Kemudian dia membaca sesuatu dan berusaha untuk kembali tidur, tetapi dia tidak bisa, diambilnya sebuah buku dari dalam tasnya dan mulai membacanya untuk merintang waktu hingga pagi menjelang, dia membaca tetapi pikirannya melayang entah kemana dan dia sama sekali tidak mengerti isi buku yang dibacannya.
Dalam hati dia berharap untuk mendengar lagi seruan itu. Hingga pagi dia membaca seperti itu dengan harapan akan kembali mendengar suara adzan, tetapi seruan yang ditunggu tidak kunjung terdengar.
Akirnya dia bangkit dan pergi ke kamar kecil dan mencuci mukanya, dengan cepat ia turun ke ruang makan untuk sarapan. Setelah itu dia pergi bersama sekelompok wisatawan untuk berkeliling, sementara itu seluruh panca ineranya dia pasang untuk menantikan saat dimana dia akan kembali mendengar lantunan seruan yang menggugahnya itu. Dia ingin meyakinkan dirinya sebelum memberitahukan wisatawan yang lain akan hal penting ini.
Kemudian rombongannya memasuki sebuah Museum Fir’aun dan di saat itu ia kembali mendengar kumandang adzan yang mengalun merdu dengan irama yang indah dari sebuah pengeras suara di museum. Neil meninggalkan rombongannya dan berdiri disamping pengeras suara itu sambil memperhatikan dengan seksama, di pertengahan adzan dia berseru memanggil temannya, “ hei, kesini, dengarkan seruan ini”.
Teman-temannya datang menghampiri dengan heran. Ketika salah seorang kelihatan akan berbicara, Neil memberi isyarat kepadanya agar diam dan mendengarkan seruan itu. Barulah setelah adzan selesai, Neil bertanya kepada mereka, “apakah kalian mendengarnya?”
“ya”, jawab mereka.
“tahukah kalian dimana aku pernah mendengarnya sebelum ini? Aku mendengarnya di permukaan bulan pada tahun 1969.”
Berserulah teman dekatnya, “Mr. Armstrong, mari kita kesana untuk bicara sebentar.” Kemudian mereka berdua pergi ke salah satu sudut & mulai bercakap-cakap tentang perasaannya yang aneh.
Tak lama kemudian Neil meninggalkan rombongannya dan mencegat taxi untuk pulang ke hotel, diwajahnya terlihat kemarahan dan emosi yg berkecamuk. “Bagaimana mungkin dia berkata bahwa aku mengada-ada dan aku telah gila?” pikirnya.
Neil berdiri di kamarnya selama dua jam sambil berbaring di atas ranjang sambil menunggu-nunggu suara adzan kembali, dan saat itu terdengarlah adzan Ashar.
Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Neil bangkit dari posisinya, berdiri lalu membuka jendela dan untuk kesekian kalinya memperhatikan seruan itu, kemudian dia berseru, “tidak,aku belum gila, aku tidak gila, aku bersumpah demi Tuhan bahwa inilah yang aku dengar di permukaan bulan.”
Neil turun ke ruang makan agak terlambat agar tidak bertemu dengan temannya.
Sampailah ketika hari liburnya berakhir, Neil beserta wisatawan lain akan pulang ke Amerika….
Neil sengaja menghindari semua teman-teman seperjalannya, hingga mereka kembali ke Amerika.
Di Amerika Neil berusaha mendalami agama Islam, disaat itu ia mulai tertarik dengan Islam. Akhirnya, beberapa bulan kemudian, ia mengumumkan keislamannya, dan mengungkapkannya dalam suatu wawancara bahwa ia menyatakan masuk islam karena dia telah mendengar kumandang adzan dengan telinganya sendiri di permukaan bulan.
Asyhadu an laa ilaaha illallaah…
Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah…
Tetapi tak lama kemudian datanglah sepucuk surat dari NASA, berisi keputusan tentang pemecatannya dari pekerjaannya. Pendeknya NASA berlepas diri dan tidak mau membantu astronot yang pertama mendarat di bulan itu, karena dia menyatakan diri masuk Islam, dan menyangkal tentang terdengarnya adzan di permukaan bulan.
Neil Armstrong berseru dalam sebuah majalah mempertanyakan pertanggung jawaban mereka perihal keputusan pemecatannya, “Memang aku kehilangan pekerjaanku, tetapi aku menemukan Allah”